"Do not be afraid; Our fate
Cannot be taken from us; it is a gift."
Dante Alighieri, Inferno***
Minggu, 12 Agustus 2013
Untuk siapapun yang membaca buku harian terkutuk Raka hari ini,Kadang, Naela tuh bikin gue bingung.
Bukan kadang sih, sebenernya.
Tapi asli, dia memang bingungin.Entah karena gue yang tiba-tiba deg-degan kayak Minggu lalu lah,
atau karena ayam warna-warni dia lah,
atau mungkin karena sejuta pertanyaan dia yang nggak jelas datangnya darimana.Kayak hari Kamis kemarin.
"Lo deketnya kayak apa sih, sama mendiang Leony?" tanya dia. Waktu itu lagi bahas buku apa gitu yang tentang teman masa kecil. Ujungnya dia nanya itu.
"Kayak saudara. Leony kayak saudara perempuan gue," jawab gue jujur.
"Lo dekat sama keluarganya?"
"Banget."
"Sama dua-duanya? Mama sama Papa?"
"Iya. Tapi Mama Leony meninggal waktu gue umur sembilan."
"Even papanya?"
"Iya. Kenapa?"
"Nggak galak, gitu? Biasanya sama cowok, bapak-bapak 'kan suka galak."
"Papa Leony itu salah satu bapak-bapak paling baik yang pernah gue kenal. Setelah Papa gue. Lagian, Leony 'kan sahabat gue dari jaman belepotan ingus."
"Iya, sih. Oh iya, lo nggak ada suka-sukanya gitu? Atau dia?"
"Hubungan gue sama Leony spesial, karena nggak ada drama cinta-cintaannya."
"Tapi, kalau ternyata Leony suka sama lo?"
Gue diam sebentar. Gue lumayan kesal kalau harus bawa-bawa Leony ke dalam topik apapun. Gue berkabung dan itu nggak akan pernah selesai.
Jadi, gue jawab aja, "Emangnya sekarang itu penting, ya? Udah nggak ada artinya juga, Na."
"Ya ... iya, maaf."
Setelah itu, dia yang makan roti isi di depan meja gue pun terdiam. Untuk beberapa waktu, suasana jadi canggung dan dingin.
Tapi, bukan Naela kalau nggak bisa mecah suasana begitu dengan segala keinginannya.
"Eh, ke rumah hantu, yuk!" ajaknya.
"Dimana?"
"Minggu ini di BP ada tahu! Lumayan, 'kan?"
"Minggu?"
"Tenang, Rak. Ada gue. Naela si superhero!"
Dan dengan itulah sore tadi gue ke Bintaro Plaza. Mendatangi rumah hantu dadakan yang digelar di dekat parkiran.
Nggak ada seram-seramnya. Itu kayak pertunjukan paling norak yang pernah gue lihat.
Yang buat seram karena tiba-tiba, di salah satu lorong gelap, bapak-bapak yang jalan sama anak remajanya diserang. Ditusuk dari samping oleh pria yang keluar tiba-tiba entah darimana.
Kejadian itu terlalu cepat bagi gue dan Naela cegah. Bapak-bapak yang kemudian ternyata salah satu pemilik perusahaan makanan ringan itu mati.
Itu kali pertama Naela benar-benar melihat orang dibunuh di depan matanya. Apalagi tadi posisinya bapak itu hanya sejarak beberapa langkah dari kita.
Dia pernah lihat Radja terbunuh. Tapi nggak sedekat itu.
Dia nangis saat di luar rumah hantu. Syok, nampaknya.
"Na..., gue kan bilang, kita nggak bisa selamatkan semua orang...," ucap gue sambil menepuk pundak Naela, mencoba menenangkan.
"Iya, iya...," jawabnya lirih. Suaranya masih terdengar gemetar.
"Tapi kita berusaha semampu kita, setiap minggunya."
Naela mengangguk dan menyeka air matanya. Tapi, tentu dia nggak terlihat lebih baik. Jadi, tanpa gue sendiri sadari, gue peluk dia. Nggak erat, lebih kayak menyenderkan kepalanya di dada gue. Tapi, tetep aja lagi-lagi gue ngutuk diri sendiri.
Mungkin gue yang salah dengar, tapi rasanya Naela berbisik, "Maaf, Raka."
Kenapa, Na?
[A/N]
Halo semuanya.
Cuma mau memberi tahu kalau mungkin nanti, nggak tahu kapan, aku bakal rada telat update.
Kemungkinan sekitar lebaran.
Terima kasih!Much love,
Mia. xo
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of the Cursed Eyes | ✔
Short Story"Terkadang gue berpikir, gue dikutuk. Mata gue terutama." Raka Angkasa menulis buku harian tentang kutukannya. Kutukan dimana ia harus melihat orang-orang terbunuh setiap hari Minggu, dan tak ada yang bisa mencegahnya. Sampai ia bertemu dengan Na...