"Destiny takes away something from us and then we surrender our whole self to destiny; the biggest mistake a man can make."
Alka Dimri Saklani, Beyond Secrets
***
Minggu, 16 Juni 2013
Untuk siapapun yang membaca buku harian terkutuk Raka hari ini,Punya teman sejak kecil itu menyenangkan. Walaupun hanya satu, tapi modelannya kayak Leony Anggita.
Gue kenal Leony dari jaman keluar rumah hanya pakai celana dalam aja, nggak pakai yang lain lagi.
Jamannya wajah gue masih ditaburin bedak, belepotan, dan nggak diratain.Leony yang sekarang itu tipikal cewek yang lingkaran pertemanannya standar. Bukan yang basis, sok high class, bukan juga kutu buku yang senantiasa mengingatkan guru akan PR minggu lalu.
Leony itu unik. Sukanya mendengarkan walkman lagu-lagi folk klasik luar negri saat jam istirahat. Di lain waktu, dia menyempatkan diri main-main ke kelas gue untuk menemani jam istirahat gue yang biasanya gue habiskan dengan baca komik strip digital dan mendengarkan rock klasik.
Dia punya banyak teman. Dan tiga mantan, yang salah satunya bernama Radja entah kenapa benci banget sama gue.
Harus gue akui, di antara teman-temannya Leony memang yang paling cantik. Dengan rambut ikal sebahu, kulit kecokelatan karena keseringan main layangan waktu kecil, dan mata yang selalu berbinar-binar, Leony terlihat manis.
Kebiasaan kecil Leony juga sangat gue kenali. Dia selalu menggaruk ujung alisnya saat berpikir keras, menekan bibir bawahnya dengan telunjuk saat gugup, dan menggambar bintang-bintang saat panik atau takut. Dia bilang bintang mengingatkan dia sama gue, karena nama belakang gue Angkasa. Karena itu, gambar bintang bikin dia tenang.
Dan meskipun banyak temannya, gue masih jadi orang pertama yang Leony andalkan, katanya. Waktu menstruasi pertamanya di kelas satu SMP, alih-alih minta bantuan temannya--Leony sudah nggak punya ibu--dia minta bantuan gue.
Beliin pembalut di koperasi, pinjam jaket untuk menutupi bekas darah di roknya, sampai minta gue browsing cara bersihin pembalut. Yang terakhir gue tolak. Jijik. Jadi, gue yang sebelumnya nunggu dia persis di depan pintu kamar mandi langsung lari cari teman perempuannya.
Itu bukan kali terakhir dia minta tolong gue berkecimpung di dunia ke-pembalutan. Dia sering titip itu kalau gue ke minimarket. Kadang juga semacam jamu yang gue nggak ngerti fungsinya.
Leony itu, juga selalu bersikeras memperbaiki kebiasaan jalan gue.
"Kamu tuh ganteng, Rak. Jalannya jangan nunduk dong," katanya.
Dia satu-satunya yang pernah gue dengar memuji gue ganteng. Tapi dia bilang temannya juga bicara begitu. Suatu hari dia pernah cerita, "Temen aku suka sama kamu, Rak. Katanya kamu ganteng, terus bawa motor gede."
Jujur gue nggak paham kolerasi antara suka dan motor gede. Dan kenapa cewek segitu pedulinya sama motor? Yah, padahal motor itu hanya lungsuran Papa.
Bisanya gue berangkat sekolah sama Leony. Tapi kalau pulang, seringnya Leony bersama Adnan, teman sekelasnya yang belakangan intens dekatin Leony.
Nanti kalau sudah di rumah, dia langsung masuk ke rumah gue--ke kamar tepatnya, nggak pakai ketuk pintu dulu dan langsung cerita soal Adnan.
Ya, begitu lah hubungan gue dan Leony. Nggak ada jarak. Nggak ada bumbu-bumbu romansa yang menganggu.
Kehilangan Leony adalah titik terakhir gue percaya akan takdir baik.
Walaupun Leony sendiri bilang, "Memang sih kamu dikutuk dan itu nggak enak. Tapi kalau menerima takdir, segalanya jadi lebih baik."
Gue sempat berpegang teguh sama kalimat itu.
Tapi sore ini sewaktu jemput Leony di halte, dia di cengkraman seorang pria yang memakai topeng ala Jepang. Tangan berbalut sarung tangan kulit hitam mencengkram lengannya. Dan mata pisau sudah seinci aja dari leher Leony.
Ketika gue bergerak selangkah untuk menolong Leony, lehernya ditusuk.
Dari situ, dunia buram.
Dan untuk beberapa saat, gue bersumpah gue kayak melihat masa lalu. Masa waktu Leony ingusan, menjulurkan tangan minta kenalan. Masa waktu Leony bangga memakai rok merah pertamanya. Atau masa dimana Leony mengajarkan gue main layangan, bukan sebaliknya, bukan juga Papa.
Gue juga seolah lihat waktu Leony meluk gue di hari pertama masuk SMP. Mendengar dia cerewet minta peniti gara-gara roknya robek sehabis lari di koridor.
Tapi setelah itu semuanya hilang.
Polisi bilang mereka menemukan catatan terakhir Leony di secarik brosur yang dia bawa. Gambar tiga bintang yang dibuat dari pensil tumpul. Gue membayangkan betapa ketakutannya Leony.
Dan gue gagal menolongnya.Gue lagi-lagi jadi saksi mata. Bagi Leony, dan bagi supir bus yang mati karena tembakan di kepala belakang.
Tapi gue udah nggak peduli.
Leony pergi.
Bagi gue, itu mengakhiri semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of the Cursed Eyes | ✔
Short Story"Terkadang gue berpikir, gue dikutuk. Mata gue terutama." Raka Angkasa menulis buku harian tentang kutukannya. Kutukan dimana ia harus melihat orang-orang terbunuh setiap hari Minggu, dan tak ada yang bisa mencegahnya. Sampai ia bertemu dengan Na...