"We were bound to reach a dead end. That was painfully clear."
Haruki Murakami, Sputnik Sweetheart***
Minggu, 23 Juni 2013
Untuk siapapun yang membaca buku harian terkutuk Raka hari ini,Banyak hal yang gue benci dan tampaknya perasaan itu nggak bertepuk sebelah tangan.
Misalnya Radja, yang sukanya mencemooh gue entah kenapa. Yang tiba-tiba hari Jumat kemarin dia mulai nyebar gosip kalau Leony dibunuh dan gue mungkin terlibat dalam pembunuhannya. Aneh.
Gue nggak tahu apa bullying a la sinetron itu memang masih ada. Jadi gue nggak tahu, kalau misalnya Radja mungkin ngebully gue karena dia merasa anaknya ketua yayasan atau gimana. Yang jelas, dia itu bully.
Yang kedua, sekolah. Gue benci sekolah. Dan sebagai balasannya, sekolah mengharuskan semua murid datang hari Minggu pagi ini untuk pesta anniversary sekolah. Yang boleh nggak datang tepat waktu hanya yang pergi ke gereja.
Sialannya, gue kan nggak mau kutukan gue terjadi di sekolah. Jadi, paling nggak gue berharap kalau kutukan gue terjadi, ya pas gue dijalan pulang.
Tapi, meski gue benci sekolah dan Radja, gue nggak pernah mendoakan hal-hal buruk menimpa mereka. Kadang gue cuma berharap Radja kesandung di tengah lapangan supaya dia malu. Udah, itu aja.
Apa gue pernah berharap Radja mati? Nggak. Apalagi di depan gue.
Tadi itu petang, kira-kira jam setengah lima.
Gue lihat di koridor ada anak cewek yang badannya super ramping, kulitnya pucat, tapi pipinya kelihatan merah. Dia masuk ke ruang tata usaha setelah berhasil melewati anak-anak yang malas ikut nyanyi di tengah lapangan.
Kelihatannya anak baru.
Cewek itu datang dengan seorang pria. Pakai topi, kacamata hitam, dan sarung tangan. Iya. Gue lihat sarung tangan kulit yang familier dan gue langsung berusaha lari ke gerbang keluar sebelum kutukan gue terjadi.
Tapi gue gagal. Gue ketahan banyak kerumunan.
Dan akhirnya pria yang tadinya ada di belakang cewek anak baru itu langsung mengeluarkan bunyi tembakan dengan pistol mengarah ke udara.
Semua langsung teriak dan berjongkok.
Cewek yang di depannya juga. Tapi, dia hanya menatap pria itu tajam. Nggak nangis, nggak juga berteriak. Dia lebih kelihatan berdoa disela-sela waktunya itu.
Awalnya, gue kira cewek itu yang bakal dibunuh.
Tapi dengan cepat, sumpah, cepat banget, dia menembakkan peluru ke kepala Radja yang lagi berdiri untuk membantu guru-guru menyingkir dari lapangan.
Radja tewas seketika.
Pria yang menembak itu langsung lari dengan cepat ke gerbang, menodongkan senjata ke sana-sini sampai nggak ada yang berani menghalangnya. Dia langsung loncat ke mobil hitam tanpa plat nomor yang disupiri orang lain, melaju cepat, dan hilang.
Kejadian itu berlangsung lebih cepat dari apapun. Nggak ada yang sempat telepon polisi, minta pertolongan, atau menyelamatkan diri.
Cewek anak baru itu langsung berdiri tegak. Tanpa suara dan ekspresi, air mata mengalir di pipinya. Gue nggak tahu dia siapa dan punya hubungan apa dengan sang pembunuh.
Tapi jam enamnya, dia dinyatakan nggak mengenal pembunuh tadi. Hanya kebetulan berjalan memasuki sekolah bersamaan.
Seisi sekolah dijadikan saksi mata.
Yah, paling nggak gue nggak sendiri dalam menjadi saksi.
Tapi ini titik dimana gue merasa sangat sendirian.
Karena nggak ada Leony yang bersedia menampung cerita mengerikan gue. Iya, bagaimanapun, gue masih berkabung. Dan akan terus begitu.
Tapi kejadian penting hari ini : Orang yang gue benci mati.
Dan gue justru merasa muak.
Sampai kapan kutukan ini mau berlanjut?
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of the Cursed Eyes | ✔
Historia Corta"Terkadang gue berpikir, gue dikutuk. Mata gue terutama." Raka Angkasa menulis buku harian tentang kutukannya. Kutukan dimana ia harus melihat orang-orang terbunuh setiap hari Minggu, dan tak ada yang bisa mencegahnya. Sampai ia bertemu dengan Na...