"Often when we guess at others' motives, we reveal only our own."
Mara Sov, Destiny
***
Minggu, 23 September 2013
Untuk siapapun yang membaca buku harian terkutuk Raka hari ini,
Sudah seminggu sejak gue lihat Papa membunuh orang, dengan ayah Naela sebagai rekannya.
Selama seminggu itu pula, gue nggak masuk sekolah. Gue bilang sama Mama gue sakit. Mama percaya karena muka gue memang nggak karuan setelah semua itu. Gue mengunci diri dan nggak banyak makan.
Seminggu itu juga gue habiskan tanpa berhubungan dengan Naela. Nyaris setiap hari Naela misscall gue sampai 20 kali setiap harinya.
Dan setelah kejadian itu, Papa nggak pulang. Ke Lombok, mungkin.
Gue menimbang untuk kasih tahu Mama. Tapi melakukan itu rasanya sama dengan membunuhnya. Jadi gue diam.
Hari ini Mama izin pergi ke reuni. Dia bawa Aria. Gue resmi sendirian di rumah.
Akhirnya, gue memutuskan sesuatu.
Memasuki ruang kerja Papa.
Gue dobrak sekuat tenaga. Berhasil. Semua susunan ruang kerja itu rapi. Nggak seperti kalau Papa di rumah, tempat itu bersih dan nggak bau asap rokok.
Gue melangkah menuju meja kerjanya--satu-satunya tempat yang berantakan.
Dan di situ, napas gue serasa diambil.
Foto Naela beserta biodatanya termasuk catatan kesehatan ditempel di dinding. Lingkaran merah dibuat di sekitar wajahnya dengan spidol. Semua itu bersanding dengan foto dan biodata Leony. Wajah Leony disilang dengan spidol merah.
Kemudian ada berkas tebal di meja. Dua tumpuk. Yang satu diberi label "Accomplished", yang lainnya diberi label "Upcoming".
Gue buka berkas Accomplished dan menelaah isinya. Semuanya berisi foto polaroid dan biodata. Tahu biodata siapa? Orang-orang yang selama ini mati di hadapan gue.
Tetangga gue, pria di rumah hantu, Radja, dan yang lainnya. Bahkan yang terbunuh di hadapan gue bertahun-tahun yang lalu.
Gue menangis, menyadari semua orang yang gue sayang terlibat di sini. Papa, Naela, Leony. Ah, pasti Papa Leony juga.
Gue rasanya mau ambruk.
Gue mencoba mencari sesuatu di tumpukan kertas lain. Gue menemukan data kepindahan Leony ke New York.
Dia belum mati. Terus apa? Pura-pura mati? Kenapa rasanya semua orang adalah pengkhianat?
Gue menemukan ponsel Papa Leony tertinggal di situ. Itu konyol. Tapi gue menemukannya. Mungkin, berhubung dia pembunuh, ponselnya ada banyak. Pasti dia merasa ponselnya aman selama berada di sini.
Gue buka. Nggak ada kata sandi.
Ada history chat di sana. Nomor itu nggak diberi nama. Pesan-pesan itu juga nggak dibalas. Tapi dari isinya, gue tahu.
papa leony : bawa Raka ke warung mi ayam Kang Daniel hari ini.
papa leony : bawa Raka ke penjual ayam warna-warni depan sd kamu besok
papa leony : bawa Raka ke pasar malem
papa leony : bawa Raka ke rumah hantu lusaOrang di seberang telepon, sudah pasti Naela.
Naela terlibat. Dia yang membawa gue melihat semua pembunuhan itu. Tujuannya apa, gue nggak tahu.
Itu pasti alasannya Naela bilang gue nggak dikutuk.
Gue jarang nangis dari kecil, terutama karena gue sudah melihat terlalu banyak pembunuhan. Gue bahkan sangsi kalau gue ini masih punya rasa takut. Tapi, hari ini, gue nangis kejer.
Ah, pengkhianatan memang hal yang paling menyakitkan.
Apa mama tahu?
Siapa lagi yang bekerja sama?
Siapa lagi yang nggak tahu selain gue?Rasanya seperti ditusuk berkali-kali.
[A/N]
Wah, chapter kali ini panjang, ya. Sulit menulisnya kalau harus kurang dari 500 kata. Terima kasih yang sudah membaca sejauh ini.
Much love,
Mia. xo
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of the Cursed Eyes | ✔
Short Story"Terkadang gue berpikir, gue dikutuk. Mata gue terutama." Raka Angkasa menulis buku harian tentang kutukannya. Kutukan dimana ia harus melihat orang-orang terbunuh setiap hari Minggu, dan tak ada yang bisa mencegahnya. Sampai ia bertemu dengan Na...