"You're allowed to feel messed up and inside out. It doesn't mean you're defective -- it's just mean you're a human."
David Mitchell, Cloud Atlas***
Minggu, 5 Agustus 2013
Untuk siapapun yang membaca buku harian terkutuk Raka hari ini,Senin lalu, Naela masuk kelas gue teriak-teriak.
"RAKAAAA! PAYA MATI!!!"
Itu otomatis anak yang ada di kelas gue nengok ke gue. Seolah siapapun yang disebut Naela itu mati karena gue.
"RAKA!!!" Asli, Naela teriaknya ngerengek gitu. Ya, ngeselin lah pokoknya. Jadi, gue samperin dia terus gue tutup mulutnya.
"Apaan sih, Na? Berisik tahu nggak?"
"Paya mati, Rak!"
"Paya siapa lagi, anjir?"
"AYAM BIRU!!!"
Ya Tuhan.
"Baru sehari, Na!"
Jadi akhirnya, untuk meredakan hati dia yang katanya berkabung, dia ngajak gue ke pasar malem.
Sebenernya, gue ke pasar malemnya tuh Malam Minggu. Tapi, Naela bilang pasar malem ini adalah pasar malem spesial karena bukanya sampe jam dua pagi.
Jadi setelah gue izin ke Mama buat pergi sampai tengah malam, dan diizinkan dengan girangnya karena ini kali pertama gue Malam-Mingguan sama cewek, gue pergi.
Lokasinya nggak jauh dari rumah.
"Na, 'kan gue bilang, kasihan anak ayamnya. Cat begitu 'kan bahaya buat mereka. Bandel sih lo!" omel gue karena gue males banget jalan malam-malam ke tempat ramai begini.
"Ih, Paya tuh mati gara-gara kedinginan! Kalo lo nyalahin catnya, salahin abang-abangnya! Kayak guru pramuka deh lo!" balas dia. Ini kenapa jadi galakan dia?
"Hubungannya apaan sama guru pramuka?"
"Yang salah siapa, yang dimarahin semuanya!"
"Lah? Lagian apa sih namanya Paya gitu?"
"Gue suka pepaya."
"Garing, woy."
Aneh amat sih anak ini.
Kemudian, tepat tengah malam, tepat ketika gue baru memasuki hari minggu, dari kios gulali ada suara teriakan.
Gue sama Naela langsung paham situasi dan lari ke sana.
Ada tubuh perempuan terkapar di tanah. Pingsan, nafasnya masih ada. Pria di hadapannya sedang menatap penuh amarah, memegang tongkat kayu yang gue duga buat mukul si perempuan. Tangan kanannya berdarah, gue rasa karena permukaan kayunya kasar. Yang kiri baik-baik aja karena dilapisi sarung tangan. Kulit, tentunya.
Ketika pria itu mau mukul kedua kalinya, Naela lari, mendorong gerobak gulali di belakangnya, membuat si pria jatuh. Warga langsung memegangi dia. Sebagiannya bawa si perempuan ke ambulans yang baru datang.
Gue dan Naela langsung lari menjauh, nggak berniat terlibat lebih lanjut.
"Keren, Na!" kata gue setelah dekat dengan kincir ria, menjauhi kerumunan tadi.
"Iya dong, gue!" Naela menyeringai.
"Tapi, cewek tadi siapa, ya? Kenapa dipukul begitu?"
"Kalau nggak salah, dia yang di instagram viral gara-gara nipu orang gitu, deh."
"Oh?"
"Rak, naik ini, yuk!" Naela nunjuk kincir ria mini di sebelahnya yang bersinar biru kehijauan. Dan tanpa menunggu persutujuan, dia langsung gandeng tangan gue dan lari ke loket. Kemudian langsung narik gue lagi untuk memasuki kincir rianya. Dan anehnya, gue nggak protes.
Kincir ria itu melambat ketika kami ada di puncak.
"Capek, Rak?" tanya Naela tiba-tiba.
"Lumayan."
"Gue juga." Intonasi bicara Naela yang biasanya monoton, entah kenapa terdengar sedih.
Ia kemudian menyandarkan kepalanya di bahu gue. Gue kaget, tentunya. Tapi, gue membiarkan dia.
"Ya udah, abis ini pulang."
Gue dengar Naela tertawa kecil. Nggak terdengar menyebalkan kayak biasanya. Tawanya, lumayan manis.
Dan sumpah, gue mengutuk diri gue yang entah kenapa deg-degan disaat itu.
[A/N]
Cuma mau berterima kasih untuk yang sudah membaca sejauh ini. That means a lot to me!Much love,
Mia. xo
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of the Cursed Eyes | ✔
Short Story"Terkadang gue berpikir, gue dikutuk. Mata gue terutama." Raka Angkasa menulis buku harian tentang kutukannya. Kutukan dimana ia harus melihat orang-orang terbunuh setiap hari Minggu, dan tak ada yang bisa mencegahnya. Sampai ia bertemu dengan Na...