(9) 28 Juli 2013 : ayam warna-warni

1K 221 16
                                    

"It was written I should be loyal to the nightmare of my choice."
Joseph Conrad, Heart of Darkness

***

Minggu, 28 Juli 2013
Untuk siapapun yang membaca buku harian terkutuk Raka hari ini,

Cewek itu aneh.

Nggak.

Naela aneh.

Oh, bukan. Naela malam minggu kemarin, SANGAT aneh. Gue pertegas karena pada dasarnya Naela memang nggak waras.

Berikut ini rentetan kalimat nggak jelas yang keluar dari mulutnya kemarin :

"Gue suka lo. SUKAAAA!"
"Gue suka cowok cuek. Yang, lo tahu, kayak, pura-pura bodoamat padahal peduli."

Dua itu gue definisikan aneh. Yang pertama, ya jelas kenapa. Yang kedua, kok bisa gitu cewek suka diabaikan?

Terus yang paling aneh, ini Naela ngomongnya kayak cewek mabuk padahal gue yakin seharian itu dia hanya makan kue putu banyak-banyak pas kita ke pasar modern buat beli bahan tugas. Oke, mungkin, dia kebanyakan gula jawa apa gimana.

Dia ujuk-ujuk ngomong, "Gue mau ayam warna-warni, deh!"

Apa-apaan?
Dan bodohnya, walaupun hari ini rencana gue mau di rumah aja (karena nggak mau beli ayam, bukan karena kutukannya), pada akhirnya gue ikut dia ke SD negri bekas SDnya dulu.

Soalnya, dia bilang, "Kalo lo di rumah, kutukannya kejadian di rumah kan, bahaya!"

Ya, dia benar seperti kebanyakan ucapan dia yang ngeselin itu.

Jadi di sini lah gue, di hadapan suara-suara kecil anak ayam merah, biru, hijau, jingga, dan bahkan warna pelangi. Bikin gue nggak tega melihat mereka dikandang dalam wadah kayu kecil, belepotan cat yang berbahaya, dan memohon minta dibawa pulang.

"Harganya berapa, bang?" tanya Naela sambil membungkuk, menunjuk anak ayam warna biru keunguan.

"Goceng, neng." Abang-abang yang mukanya minta gue hajar itu ngangkat anak ayamnya dengan sembarangan. Kemudian, dia mengulurkannya ke Naela yang menerima anak ayam itu dengan lembut, seolah terbuat dari kaca.

"Mahal, ya. Dulu gue beli dua ribuan," ucap Naela setelah kami berjalan menjauh dari suara anak-anak ayam, menuju pedagang cireng yang berseberangan persis dengan gerbang masuk SD.

"Dulu, gue nggak dibolehin beli begituan. Kasihan," sahut gue cuek. Kayaknya gue melukai hati Naela, membuat dia merasa jahat.

Cewek itu memeluk anak ayamnya dengan laga melindungi, tapi dengan hati-hati. Dia menolak menggunakan kantung kertas dan ingin membawanya dengan tangan saja.

Nggak lama, ada suara memanggil dari balik punggung kami, "Naela? Naela Natasya?"

Kami menoleh.

"Pak Dandy!" seru Naela. "Ya ampun, pak, apa kabar? Ih, saya kangen bapak!"

Cewek itu segera memperkenalkan gue ke Pak Dandy--kepala sekolahnya dulu, yang entah kenapa--seperti Kang Daniel--berasumsi gue pacarnya. Apa sih, orang-orang? Hanya karena cewek sama cowok jalan berdua 'kan bukan berarti pacar.

Terus saat Pak Dandy dan Naela asik bicara soal sewaktu Naela masih SD, gue melirik ke samping. Di sebelah gerobak cireng, ada preman dengan masker dan kacamata hitam. Dan ... sarung tangan kulit.

Ya Tuhan. Preman itu mengawasi Pak Dandy.

Detik berikutnya, mereka bergerak.

BRAK!
DUAR!

Bersamaan dengan gue yang menimpa Pak Dandy, membantunya menghindari peluru, peluru melesat melewati kepala kami. Gue menoleh ke Naela. Gadis itu beku kayak patung.

Pelipis kirinya berdarah.

"Na! Lo nggak apa-apa?!" Gue praktis berdiri nyamperin dia. Dia mengangguk dan berkata, "Iya. Kebeset peluru. Ayo."

Kami membantu Pak Dandy bangkit, dan detik berikutnya saat kami menoleh ke arah preman, mereka sudah nggak ada.

Gue menatap Naela.
Begitu juga dia--menatap gue.

Cewek itu menghela napas kemudian meringis.

Tapi di mata gue, dia bukan meringis karena pelipisnya yang meneteskan sedikit darah.

Sesuatu yang lebih menyakitkan.

Seolah berasal dari dalam dadanya.

Diary of the Cursed Eyes | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang