"None of us knows what might happen even the next minute, yet still we go forward. Because we trust. Because we have Faith."
Paulo Coelho, Brida
***
Minggu, 6 Oktober 2013
Untuk siapapun yang membaca buku harian terkutuk Raka hari ini,
Laju motor gue semakin cepat pagi tadi, ketika tinggal satu blok lagi menuju rumah Naela.
Rasa bersalah menyelimuti hati gue, pekat dan pahit.
Begitu sampai di depan rumahnya, gue melihat garis polisi masih melintang di sana-sini. Rumahnya lumayan ramai. Yah, papanya memang terlibat dalam rantai pembunuh bayaran itu.
Sudah sepekan, rumah Naela masih ramai. Tetangga-tetangganya yang ingin tahu masih sesekali berhenti di depan rumahnya untuk melihat-lihat, berharap mendapat suatu informasi. Tapi sayang banget, mereka nggak akan dapat apa-apa. Seperti tetangga gue.
Gue langsung berjalan cepat, menerobos garis polisi, menuju pintu depan dan membunyikan bel. Satu, dua kali masih diabaikan. Ini udah percobaan kesekian kalinya gue ke rumah Naela untuk menemui cewek itu. Tapi kemarin-kemarin, dia kayaknya nggak ada di rumah.
Gue memutuskan untuk berteriak, "Naela! Na! Ini gue Raka! Gue mau ngomong sebentar aja!"
Sekitar dua menit kemudian, pintu depan dibuka.
Naela pun muncul di hadapan gue.
Dia masih sepucat terakhir kali gue melihat dia. Lingkar matanya jauh lebih gelap, sembab—terlihat habis menangis. Rambutnya berantakan. Tapi beberapa helai rambutnya dan sekitar wajahnya basah. Naela baru saja cuci muka, itu terlihat jelas. Ada bekas busa sabun di bawah dagunya. Tapi dia, masih secantik terakhir kali gue ketemu dia.
"Raka?" Suaranya bergetar. Dia enggan menatap mata gue. Dan, ya, gue berhak mendapat respon begitu. Naela pasti merasa bersalah. Tapi begitu pun gue.
Selama satu menit suasana hening. Nggak ada satupun dari kita yang bicara.
Naela memutuskan buka mulut, "Raka, maafin gu—"
"Maafin gue, Na," sela gue, menghentikan ucapan Naela yang kedengaran kayak mau nangis.
"Hah?"
"Maaf karena seharusnya gue dengerin lo dulu. Bukan malah ngambil kesimpulan yang nggak-nggak. Lo nggak pernah bermaksud jahat, 'kan? Lo ada di pihak baik, 'kan? Tapi gue malah berasumsi yang jahat."
"Lo ... udah ngerti keadaannya, Rak?" Naela terdengar lirih.
"Iya. Tapi gue mau nanya, Na."
"Apa?"
"Kenapa di pasar kemarin lo berhentiin gue ngejar papa? Bukannya itu tugas lo; membuat gue membongkar kebenarannya?"
"Karena...," Naela mulai terisak. "Gue nggak sanggup aja. Lo, mengungkap bahwa papa lo sendiri itu pembunuh... gue tahu rasanya. Gue juga nggak mau lo salah sangka sama gue. Raka, gue nggak akting selama ada di deket lo. Lo harus tahu itu."
Gue hanya bisa melempar senyum, terus bilang, "Iya, gue tahu."
Naela mengangkat kepalanya, akhirnya berani menatap mata gue. "Lo maafin gue?"
"Asalkan lo maafin gue juga."
Pembicaraan itu berujung tawa ringan. Perasaan memang nggak dengan mudah hilang.
[A/N]
Bingung nggak sama bagian ini? Iya lah, masa tiba-tiba Raka udah nyamper Naela aja.
Tenang, tenang, everything will make more sense in two chapter.
Terima kasih yang sudah membaca sejauh ini! DOTCE sebentar lagi mencapai bagian akhir!Much love,
Mia. xo
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of the Cursed Eyes | ✔
Short Story"Terkadang gue berpikir, gue dikutuk. Mata gue terutama." Raka Angkasa menulis buku harian tentang kutukannya. Kutukan dimana ia harus melihat orang-orang terbunuh setiap hari Minggu, dan tak ada yang bisa mencegahnya. Sampai ia bertemu dengan Na...