Tiga Belas

1.9K 249 1
                                    


Kamar itu sepi. Lebih sepi dari biasanya. Tak ada tanda-tanda adanya kegiatan atau apapun di sana. Dengan lampu yang tak dinyalahkan dan hanya mengandalkan penerangan dari lampu di balkon, kamar itu terasa semakin sepi. Dan suram.

Tak ada siapapun di sana?

Tentu saja tidak! Omong kosong jika ada kamar tanpa pemilik. Kamar tamu pun ada pemiliknya. Ya, kecuali jika rumah di mana kamar itu berada sudah tak berpenghuni.

Baiklah! Lupakan tentang masalah kamar dan pemiliknya.

Kembali lagi pada pemilik kamar yang tengah sepi ini.

Ya, pemiliknya ada di sana. Duduk di depan meja belajar dengan menunduk tanpa melakukan apapun. Bahkan meja belajarnya kosong, menandakan jika ia memang tak belajar.

Rosie, gadis pemilik kamar itu, menghela nafas pelan lalu memejamkan matanya dan berusaha menghilangkan kenangan buruk yang menghampirinya sejak tadi sore.

Kenangan buruk memang sulit hilang. Apalagi jika ada kejadian baru yang membuat kenangan itu seakan dipaksa keluar dari bagian terdalam otak, tempat di mana selama ini ia disembunyikan baik-baik oleh pemiliknya.

Rosie tak pernah tahu jika kejadian hari ini akan membuatnya mengingat kembali kejadian itu. Kejadian sepuluh tahun yang lalu, yang juga telah membentuk karakternya menjadi gadis galak tak terjamah. Kejadian yang menyebalkan saat ia masih berusia enam tahun, di mana orang tuanya tak sengaja meninggalannya di jalanan sepi yang tak ia ketahui.

Saat itu, mereka sedang piknik bersama di sebuah taman. Taman itu tak terlalu ramai. Rosie kecil yang sedang ceria-cerianya, begitu gembira saat ia melihat kupu-kupu. Dan dengan ditemani ayahnya, ia berlari mengejar kupu-kupu itu. Remon yang saat itu usianya sepuluh tahun, diam saja bersama ibunya.

Karena keasyikan dengan kupu-kupu, Rosie tak sadar jika ia dan ayahnya sudah cukup jauh dari tempat di mana ibu dan kakaknya berada.
Lalu, ibunya datang dengan terburu-buru, mengatakan jika ayahnya harus mengantar sang ibu ke toilet umum terdekat, karena ibunya sedang sakit perut. Kepanikan ibunya membuat ayahnya ikut panik sehingga mereka meninggalkan Rosie begitu saja di situ. Sendirian. Dan tanpa siapa-siapa.

Rosie yang kebingunan tidak tahu jalan pulang. Dan ia diam di sana. Pikirnya, ayahnya akan datang dan menjemputnya. Namun, itu tak terjadi hingga beberapa orang anak laki-laki yang seusia Remon datang dan mengganggunya. Bahkan ada yang memukulnya dan menjambak rambut panjangnya. Rosie ketakutan dan ia menangis. Namun tak ada yang menolongnya. Dan anak-anak itu semakin mengganggunya. Mereka mulai bertindak diluar batas akibat pengaruh pergaulan tak baik dan teknologi yang semakin canggih dengan tak ada pengawasan dari orang tua.

Rosie ingat, jika Remon tak dapat tepat waktu saat itu, ia pasti sudah 'habis'.

Tapi, Rosie tak mau mengingat kejadian itu lagi. Terlalu mengerihkan untuk diingat.

Yang ia ingat hanya satu hal.

"Kalau ada yang gangguin, marahin aja. Pukul kalo perlu, nanti orangnya keenakan. Jangan jadi cewek lemah. Adek abang cewek kuat."

Kalimat penyemangat yang Remon, kakak lelakinya ucapkan setelah kejadian itu.

Ya, hanya kalimat itu yang Rosie ingat sehingga ia menjadi gadis galak seperti saat ini.

Rosie menggeleng kuat-kuat saat kejadian itu hadir lagi. Gadis itu lalu memejamkan matanya dan berusaha untuk melupakannya.

Beruntung suara ketukan pintu bisa membantunya.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan masuknya Remon dengan segelas susu di tangannya.

"Kok lampunya gak dinyalain?"

Remon berjalan mendekati sang adik, lalu meletakan gelas susunya di meja di depan adiknya itu.

"Gak mau," jawab Rosie pelan.

Remon tahu jika adiknya itu bukan tipe gadis yang heboh dan suka melebih-lebihkan sesuatu. Tapi, ia tahu adiknya itu juga bukan gadis yang tak semangat bicara seperti itu.

Dan ia hanya bisa menghela nafas pelan saat ia ingat apa yang membuat adiknya jadi seperti saat ini.

"Tadi, kenapa gak nunggu abang kayak biasanya?" tanya Remon beberapa saat kemudian, sambil meraih puncak kepala adiknya dan mengelus pelan rambut adiknya.

Rosie menggeleng lagi. "Ada perlu sama temen," jawabnya kemudian.

"Terus kenapa gak telpon abang pas ditinggal?"

"Jam segitu abang lagi ada kelas, jadi aku gak mungkin gangguin."

"Lain kali telpon abang aja."

Rosie mengangguk. "Gak pa-pa, temen kelas aku sekarang baik kok, bang."

"Iya, abang ngerti. Tadi juga yang nganterin kamu banyak banget."

Rosie tersenyum. Remon mengangguk lalu menyuruh Rosie untuk meminum susunya. Dan setelah adiknya itu selesai minum, ia mengatakan sesuatu yang membuat adiknya itu melongoh.

"Ada temen kamu di depan," ucap Remon.

"Lah, Jennie sama Sae kan baru pulang, bang. Kok balik lagi?" tanyanya heran.

"Bukan Jennie sama Sae," jawab Remon.

"Terus siapa? Yang lain kan udah tadi sore ke sini."

"Temen yang itu, Ci."

"Yang itu?"

Remon tersenyum jahil. Pikirnya, ini adalah cara untuk membuat adiknya itu lupa akan masalah yang tengat terjadi. Lebih tepatnya, melupakan kenangan buruk adiknya.

"Yang suka kamu gambar itu. Abang baru tahu ternyata dia temen kamu."

Jawaban Remon membuat wajah Rosie memerah karena malu. Tapi, ia bersyukur. Lampu kamar yang sengaja ia matikan tak akan membuat Remon melihat rona merah di wajahnya.

"Dia juga kan yang ninggalin kamu tadi?" tanya Remon lagi, membuat Rosie diam lagi. "Abang tadi mau hajar dia aja, tapi karna dia bilang mau minta maaf dan mau nungguin kamu sampe kamu keluar, abang pikir dia tulus mau minta maaf. Jadi, abang suruh tunggu."

Rosie mengerjap-ngerjap lalu mengatur ekspresi wajahnya agar tak kelihatan aneh di mata Remon.

"Turun gih, samperin dia," ucap Remon lagi.

Rosie diam sesaat, memikirkan apa ia harus turun dan Junhoe atau tidak.

Sejujurnya, Rosie bukan tak mau bertemu Junhoe. Tapi, jarak kejadian tadi dan malam ini terlalu dekat. Ia belum siap. Ia siapnya besok. Bukan sekarang.

Tapi, Junhoe sudah datang. Ia tak mungkin menyuruh lelaki itu pulang.

Dan tentang kejadian tadi sore, Rosie pikir bukan salah Junhoe.

Lelaki itu tidak tahu jika ia tak bisa ditinggalkan. Lelaki itu tak tahu jika Rosie pernah mengalami kejadian buruk hingga ia bisa seperti itu.

Lagi pula ia yakin jika Junhoe punya alasan ketika meninggalkannya tadi. Dan alasan itu pasti penting sehingga Junhoe bahkan tak mengatakan sesuatu.

Dan Remon bilang, Junhoe ingin minta maaf.

Jadi, kenapa harus menghindar?






<*fake enemy*>






YoaMaria

Fake Enemy (Junhoe-Rose)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang