♡Suga
"Hoi, lo nggak seharusnya jutek begitu. Lo anak dance, kan? Otomatis lo kenal gue sama Hoseok, kan? Apa susahnya sih, nyapa kakak kelas sekaligus senior yang jelas-jelas lebih tua dari lo?"
...
Hei, apa kalian pikir gue serius dengan perkataan gue barusan itu? Jelas enggak, lah. Yang bener aja. Sejujurnya, gue ngomong begitu supaya gue bisa lihat wajah canggung Wendy yang, ehm—lucu itu lagi. Tolong, jangan hujat, hina, ataupun bully gue. Soalnya, gue sama sekali nggak tahu gimana caranya biar gue bisa melihat wajah lucu itu lagi selain membuatnya merasa canggung. Iya, gue tahu gue jahat banget.
"Suga!" tegur Hoseok. "Eh, anu.. Wendy, maaf ya. Suga pasti nggak bermaksud begitu, kok.."
"Iya, Kak, nggak pa-pa. Gue ngerti kok," Wendy lagi-lagi melengkungkan belah bibirnya setelah harus berhadapan dengan situasi yang nggak begitu enak buat dia. Melihatnya, gue kagum, sih. Salut. Pasalnya, rata-rata semua orang yang pernah gue frontalin begitu pasti nggak bakal menunjukkan senyum lagi setelahnya. Tapi kali ini, entah kenapa gue merasa kalau Wendy ini cewek tegar. Menarik. "Duluan ya, Kak. Maaf kalau nggak ada nyapa."
Setelah cewek itu sudah sedikit berjarak dari meja kami, Hoseok melanjutkan pesanannya, mengingat mbak-mbak kedai yang sudah berniat untuk menulis pesanan kami itu sempat tertahan karena kedatangan dua cewek tadi. Untungnya, gue dan Hoseok nggak begitu mengenal orangtua Joy. Karena kalau iya, mbak-mbak kedai yang belum menyelesaikan tugasnya ini akan berdiri di samping meja kami seharian. Gue juga punya hati, kali.
"Itu aja, Mbak. Maaf lama, ya,"
"Iya. Mohon ditunggu ya, pesanannya."
Mbak-mbak kedai itu kembali bersama rekan-rekan kerjanya. Sementara, Hoseok tiba-tiba aja menoleh ke arah gue. Berani taruhan, dia pasti bakal ngomongin soal gue yang sudah berbicara terlalu frontal pada Wendy.
"Ga," panggilnya, pelan. Nggak terdengar seperti nada marah sama sekali. Oke, kali ini apa yang akan anak ini katakan? "Lo yakin nggak ada perasaan sama Wendy?"
Lah, tumben. Jujur aja nih, gue sebetulnya juga masih mempertanyakan hal yang sama pada diri gue sendiri. Karena di satu sisi, gue memang udah lama suka sama Wendy. Di sisi lainnya, gue nggak tahu gimana cara ngungkapin perasaan itu. Percaya atau enggak—karena saking bingungnya gue mau cerita ke siapa—satu-satunya orang yang paling gue percaya untuk mencurahkan isi hati gue, itu Kak Hyoyeon. Iya, Kak Hyoyeon, pelatih dance grup Velvet, di mana Wendy adalah salah satu anggota dari grup itu.
Kak Hyoyeon sendiri untungnya juga merupakan pendengar yang baik. Makanya, beberapa bulan lalu, Kak Hyoyeon pernah pura-pura menjodohkan kami. Padahal, ada maksud lain dari semua itu. Kak Hyoyeon nggak akan membuat peristiwa yang seumur-umur bakal diingat sama anak-anak dance itu jika bukan karena ingin membantu gue yang ngebet pengen deketin Wendy.
"Heh, bantet," suara Hoseok yang lebih keras dari sebelumnya ini kontan menghancurkan seluruh imajinasi gue. "Gue nanya."
"Seok, gue udah pernah bilang, kan? Di mana-mana orang juga tahu kalau Jimin lebih bantet!" gue memprotes. Lagi pula, walaupun gue kurang tinggi, gue kan kurus. "Lo nanya apa tadi?"
"Umur lo berapa, sih?" tanya Hoseok. "Nggak sampai lima menit udah lupa aja."
Tahan, Suga, tahan. "Sekali lagi, Hoseok. Gue kan udah pernah bilang sebelumnya, kalau gue ini emang pelupa."
"Iya dah, yang pengingat bisa apa," cetus Hoseok. "Tadi gue tanya, lo yakin nggak ada perasaan sama Wendy?"
"Perasaan gimana?"
"Ya perasaan. Bisa aja suka. Terlebih saat ekspresi lo yang spontan berubah waktu lo ngelihat Wendy datang."
Mampus.
♡
Wendy
Sepulangnya kami dari kedai pizza, orangtua Joy memintaku untuk mampir ke rumah mereka. Mereka juga berpesan padaku agar aku dapat mengundang anak Velvet yang lainnya—Kak Irene, Seulgi, dan Yeri—untuk berkumpul bersama di rumah Joy.
"Wen, gue ke kamar mandi bentar ya. Lo kalo mau masuk aja ke kamar gue," sahut Joy, sudah lengkap dengan setelan baju rumah santainya.
"Iya," jawabku singkat.
Sementara Joy masuk ke dalam kamar mandi, aku masuk ke dalam kamar Joy, sesuai dengan usulnya tadi. Di dalam, aku duduk di atas tempat tidurnya yang cukup besar, yang menurutku bahkan cukup untuk dua orang. Aku memang sebelumnya sudah sering berkunjung ke sini, tapi aku tidak pernah sama sekali menginap di rumah Joy. Yah, mungkin kapan-kapan, kalau ada waktu.
Aku beralih melihat ke arah langit-langit. Entah kenapa, setelah kejadian di bandara tadi, aku tidak begitu merasa malu saat Kak Suga memergokiku yang tidak menyapanya. Aku malah merasa kalau ucapannya itu hanya dibuat-buat, sengaja untuk membuatku merasa canggung. Hei, lagi pula, aku juga jarang menyapa anak Bangtan yang lain apabila kami tidak sengaja bertemu. Sebagai contoh, sewaktu di mall, aku pernah berpapasan dengan Kak Seokjin. Aku sadar ia baru saja berpapasan denganku, namun aku tak sama sekali menyapanya. Ia malah berkata sewaktu kami bertemu di sekolah, "Wendy, kemarin malam mingguan, ya?"
Tapi, kalian tahu sendiri, Kak Seokjin dan Kak Suga jelas berbeda. Kak Seokjin yang terlalu baik hati itu terbanting jauh dengan sifat Kak Suga yang sangat dingin. Aku pun merasa kalau aku jauh lebih dekat dengan Kak Seokjin ketimbang dengan Kak Suga. Bukannya apa, tapi faktanya, kami memang baru kenal semenjak kejadian Kak Hyoyeon dengan jurus jodoh-perjodohannya itu.
Dan satu hal yang ingin aku pertanyakan adalah, kenapa kakak kelas yang justru baru kenal denganku itu 'marah' saat aku tidak menyapanya? Kenapa ia marah sedangkan kakak kelas yang dekat denganku tak sedikitpun mengoceh walaupun aku juga memperlakukannya dengan cara yang sama?
Entahlah, rasanya semua ini tiba-tiba jadi membingungkan.
♡
k u e t i r a m i s u
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma.
FanfictionSuga bilang, karma itu nggak nyata. Tapi karma menjawab, lo berikutnya. [BTS' Suga & Red Velvet's Wendy fanfiction] status; completed✔️ © kuetiramisu | 2018