17. confused

1.8K 290 35
                                    







Suga


"Wendy!"

"Hm?"

"Lo kenapa, sih?"

Wendy awalnya berusaha menjauh, tapi dengan sigap gue tarik tangan cewek itu sehingga kami saling berhadapan sekarang. Dan bagaimanapun, detak jantung gue mulai nggak terkendali. Wajah kami mungkin nggak begitu dekat, tapi secara nggak langsung, ini bener-bener membuat gue gugup.

Wendy spontan berontak, "Apa sih, Kak?! Lepas!"

"Lo kenapa dari tadi ngejauhin gue gitu, hah?"

Wendy berdecak sebal. Pelan-pelan, tangan gue yang dari tadi mencengkeram pergelangan tangan Wendy itu gue lepas, membiarkan cewek itu supaya kesannya gue nggak memaksa dia buat menjawab pertanyaan gue. Padahal sih iya, gue maksa.

Nggak, nggak. Sebenernya ini bukan apa-apa. Masalahnya, sewaktu latihan tadi, gue selalu berusaha menyapa Wendy, menegur Wendy, berbaik hati pada Wendy, dan semacamnya. Tapi cewek itu malah melihat gue dengan tatapan sinis, ogah-ogahan membalas sapaan gue, dan tahu? Waktu gue menawarkan keripik kentang yang gue bawa hari ini, cewek itu menolak mentah-mentah. Persis seperti yang gue lakukan sewaktu ia menawarkan kue buatan ibunya tempo hari.

Apa ini yang disebut karma?

Ah, menurut gue sih, enggak. Kalo soal beginian, semua orang punya selera. Gue mungkin nggak suka kue. Begitu juga dengan Wendy, dia mungkin nggak suka makan keripik kentang.

Tapi yang bikin gue heran, kenapa dia tiba-tiba berusaha buat ngejauhin gue? Padahal kemarin rasanya kita baik-baik aja. Gue nganter dia pulang, terus kita chatting malamnya, semuanya berjalan lancar. Nggak ada masalah.

"Lo berlebihan, Kak."

Untuk beberapa detik, gue terdiam, berusaha mencerna kata-kata Wendy. Gue berlebihan? Berlebihan apanya?

"Maksud lo?"

"Harus ya lo marah segitu besarnya sama anak orang sampe bikin dia tega mutusin pacarnya?!"

Lagi-lagi, gue diem. Entah ini perasaan gue aja apa gimana, tapi rasanya cara Wendy ngomong berubah, cuy. Seinget gue, kemarin, dia nggak ada ngomong menggunakan kata 'lo' gitu, melainkan 'kakak'. Tapi sekarang, kenapa jadi gini..

"Siapa, sih? Jungkook?"

Wendy mengangguk cepat. "Lo tahu, Kak? Yeri itu nangis, nangis senangis-nangisnya orang nangis sebelum kita masuk ke ruang latihan tadi. Padahal, tahu sendiri kan kalo Yeri orangnya periang?"

Gue diem. Lagi. Lidah gue mendadak kelu, nggak bisa jawab apa-apa. Anehnya, gue nggak ada rasa kasihan juga.

"Ya gue paham kalo lo marah, rahasia lo disebarin, gue paham, gue tahu rasanya," lanjut Wendy. "Tapi gue marah nggak sama lo? Enggak. Gue ngejauhin lo? Enggak. Terus lo mau marah karena apa? Reputasi lo hancur? Kak Suga yang terkenal keren dan dingin tiba-tiba suka sama Wendy, nama baik lo bakal tercemar? Gitu, Kak?"

Strike. Semuanya tepat sasaran.

"Dan sebenernya, mau rahasia lo tersebar ataupun enggak, gue yakin nggak ada bedanya."

Gue mengernyit bingung. Ada sebuah keinginan di hati kecil gue untuk sekedar bertanya, hah, emang kenapa? Tapi rasanya kata-kata itu tersangkut di tenggorokan gue.

Dan gue tahu Wendy sebetulnya mengerti.

"Karena gue suka sama lo, tadinya. Tapi begitu gue tahu kalo lo ternyata masih kekanak-kanakan gini, gue langsung ilfeel, maaf."





Gue merebahkan tubuh gue kasar ke atas tempat tidur. Bantal dan guling gue lempar seenaknya, menyisakan tempat tidur gue yang semakin lama semakin berantakan. Gue nggak peduli.

Gue memang masih punya Bangtan. Gue punya tempat untuk cerita. Tapi gimanapun, nggak semua anak Bangtan mengerti. Nggak semua dari mereka dapat merasakan apa yang gue rasakan.

Perlahan, air mata gue menetes. Sekujur tubuh gue mulai bergetar. Gue jujur udah nggak sanggup membendung semuanya. Terlebih waktu Wendy bilang kalo dia ilfeel sama gue.

Memang, kita bukan siapa-siapa. Dia pacar gue? Bukan. Kita ada hubungan? Cuma temen biasa. Tapi, ketika lo udah suka sama seseorang sejak lama—terus lo tahu kalo orang itu suka balik sama lo—pasti lo sakit hati kalo dia tiba-tiba ilfeel gara-gara suatu kesalahan yang lo perbuat.

Yah, sakit hati itu mungkin nggak sepenuhnya. Tapi begitu lo sadar kalo dia jadi ilfeel gara-gara kesalahan lo sendiri, rasa menyesal itu pasti ada, kan?

Itu yang gue rasain sekarang.

Entah sakit hati, entah menyesal.

Gue bingung.

Gue bingung sama diri gue sendiri.

Ah, cukup—jangan bodoh. Jadi orang itu kuat sedikit, dong. Masa karena masalah ginian aja lo nangis sih, Ga?

Halah. Kan emang pada dasarnya lo itu lemah, lo kekanak-kanakan, tapi selalu sok hebat. Pantes aja Wendy ilfeel, jadi nggak perlu dipertanyakan lagi.

"Sialan, diem lo!"

Pikiran, mulut, dan hati gue terus bertengkar. Mereka saling meremehkan, saling menjatuhkan satu sama lain. Nggak ada yang mau mengalah, semuanya ingin menang.

Apa diri gue juga gitu?

Tok tok tok.

Perang besar antara ketiga pihak itu tiba-tiba berhenti begitu seseorang mengetuk pintu kamar gue dari luar. Untung aja. Kalo nggak, mungkin gue bakal stress sendiri ngehadepinnya.

"Siapa?"

Seseorang itu berdehem, "Namjoon."

Bagus! Dia datang di saat yang tepat sekali.

"Masuk aja, Joon."





"Habis itu Wendy bilang apa?"

"Dia bilang.. gimanapun caranya, gue harus baikan sama Jungkook, dan Jungkook harus balikan sama Yeri. Dia juga sama kaya lo, bilang kalo mereka berdua itu saling sayang."

"Tuh kan, berarti gue bener," Namjoon tersenyum kecil. "Terus cara lo buat ngelakuin itu semua?"

"Ya minta maaf, lah."

"Oke.." balas Namjoon. "Tapi, Ga, lo yakin dengan minta maaf doang semua bakal kembali seperti semula dengan gampangnya?"





k u e t i r a m i s u

Karma.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang