35. jealous

1.6K 216 35
                                    







Wendy


"Lo beli apa, Wen?"

"Case handphone," jawabku mantap. "Warnanya merah, sesuai kesukaan Kak Hyo. Kebetulan di tengahnya juga ada huruf H."

"Bagus, tuh," komentar Joy. "Gue kayanya ambil dua pasang kaus kaki sport ini aja deh. Kak Hyo kan suka olahraga."

"Good choice, Joy," ujarku. "Kartu ucapannya sudah?"

"Sudah. Ayo ke kasir."

Setelah aku dan Joy membeli barang-barang yang ingin kami berikan ke Kak Hyoyeon, Joy mengusulkan untuk berjalan kaki menuju rumah Kak Hyo. Memang, rumahnya tidak terlalu jauh dari mall ini, sih. Jadi aku setuju-setuju saja.

Aku mungkin pernah bilang kalau Joy menjauhiku gara-gara aku lebih mempercayai Seulgi. Namun, beberapa hari setelahnya, cewek itu mengaku bila ia tidak tahan berjauhan denganku. Rasanya seperti ada yang hilang, katanya. Akhirnya, dia memutuskan untuk kembali berteman baik denganku.

Oh iya, hari ini adalah hari yang spesial, di mana kami—semua anggota ekskul dance di sekolah—akan berkumpul untuk acara buka puasa bersama, atau yang sering disingkat bukber. Ini memang hanya bukber, tapi bagaimanapun, aku dan Joy ingin memberikan sesuatu yang sekiranya dapat Kak Hyoyeon kenang dari kami. Jadilah kami membeli beberapa barang untuk kami berikan padanya, dan aku harap Kak Hyoyeon menyukainya!





Setelah kami berjalan kaki selama kurang lebih sepuluh menit, kami sampai di rumah Kak Hyo. Ternyata, rumahnya masih sepi. Padahal ini sudah jam empat lebih dua puluh menit. Ah, iya, anak-anak dance kan terkenal dengan kebiasaan ngaret-nya. Hahaha.

"Wendy? Joy?" ucap Kak Hyoyeon sambil membukakan pintu rumah besarnya. "Masuk, masuk."

Aku dan Joy melepas sepatu, melangkahkan kaki masuk, kemudian segera duduk di ruang tengahnya yang tidak kalah besar. Ini bukan pertama kalinya aku berkunjung ke rumah Kak Hyoyeon, jadi aku tidak sepenuhnya kagum saat aku memasuki rumahnya. Tapi, harus kuakui, rumah ini memang sangat besar. Perabotan di dalamnya juga mewah. Kak Hyo bahkan mempunyai kolam renang pribadi—padahal dia tinggal sendiri. Entahlah, mungkin Kak Hyo memang sesuka itu dengan olahraga.

"Wen," Joy seketika berbisik. "Kayanya kita yang paling awal dateng, ya.."

"Iya," aku membalas bisikan Joy. "Mau kasih kadonya sekarang apa nanti?"

"Sekarang aja. Mumpung belum ada yang lain juga, kan."

Aku mengangguk, menyetujui pernyataan Joy. Setelah itu, kami berdiri, kemudian menghampiri Kak Hyoyeon yang masih sibuk dengan kue buatannya di dapur. Kak Hyo memang bisa segalanya.

"Ehm, Kak Hyo?" panggil Joy hati-hati. "Mau kita bantuin?"

Kak Hyoyeon menoleh, "Oh, nggak usah, kalian duduk aja. Kuenya bentar lagi mateng, kok."

"Kak Hyo, sebenernya.." aku mengalihkan pembicaraan. "Kita mau ngasih ini ke Kakak."

Secara bersamaan, aku dan Joy mengeluarkan kado yang sudah kami bungkus secantik mungkin di mall tadi, lalu menyerahkannya kepada Kak Hyo.

"Astaga, apa-apaan ini, Wendy, Joy?" Kak Hyoyeon tertawa—aku tahu ia tersipu. "You're the best coach ever, hahaha."

Aku dan Joy hanya mengulum senyum malu karena mendengar Kak Hyo yang membaca tulisan kami di kartu ucapan. Percayalah, orangnya memang seperti itu, ia tidak mudah dipuji.

Karma.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang