selamat membaca, semuanya! :3
♡
Wendy
Malam ini, seusai menonton film Tomb Raider, Kak Suga mengajakku pergi ke taman kota. Biasanya, malam-malam begini, taman kota memang masih ramai. Entah mencoba jajanan yang dijual di sekitar taman atau hanya jalan-jalan, taman kota selalu ramai tiap malamnya.
Sedangkan pasangan baru itu—Seulgi dan Jimin—mereka pulang duluan, walau aku tahu sebenarnya mereka masih ingin untuk menghabiskan banyak waktu berdua. Sayangnya, orangtua Seulgi termasuk orangtua yang protektif. Jimin untungnya mengerti tentang sifat orangtua pacar barunya itu.
Oke, kembali pada diriku. Aku sudah berada di taman kota dengan Kak Suga saat ini. Taman ini sangat sederhana, tapi menurutku sangat indah. Benar-benar enak untuk dipandang. Ada banyak lampu warna-warni yang menghiasi pohon, beberapa street food ala Indonesia yang berjejer di sisi taman, dan air mancur yang tengah menari-nari menunjukkan aksinya. Semua ini indah, apalagi dengan seseorang yang spesial di sampingku.
"Wen, mau jajan bakpao?" tanya Kak Suga. Ia tiba-tiba menggenggam tanganku. Lagi.
Aku tak menolak. Kubiarkan saja tangan kekarnya itu menggenggam tanganku. "Mau, mau."
Kak Suga tersenyum. Genggaman tangannya semakin kuat. Aku semakin merasa nyaman, aku merasa terjaga. Namun, pikiran-pikiran mengenai kepergiannya masih melekat kuat di otakku.
Lupakan, Wendy. Nikmatilah masa-masa seperti ini.
Baik, aku akan berusaha. Berusaha melupakan, berusaha untuk berpura-pura tidak tahu jika dia akan pergi suatu hari nanti. Nikmati saja. Selagi dia masih di sini. Di sampingku. Bersamaku.
"Kamu mau bakpao apa?" dia bertanya. Suaranya lembut sekali.
"Ayam," jawabku singkat.
Aku melihat sekeliling. Di sini ada banyak pasangan, mereka terlihat sangat mesra. Menurutku, mereka beruntung, karena mereka tidak akan kehilangan pasangannya. Entahlah, aku juga tidak tahu. Apa salah satu dari mereka ada yang bernasib sama denganku? Akan kehilangan seseorang yang dicintainya suatu hari nanti?
"Wen," Kak Suga memanggil, membuat seluruh imajinasiku seketika buyar. Satu tangannya memegang plastik berisi dua bakpao, sementara satunya lagi kembali menggenggam tanganku. "Ayo duduk di dekat air mancur, ada yang kosong, tuh."
Aku mengangguk, mengiyakan. Dengan lembut, ia tarik tanganku menuju bangku yang ia maksud.
Kami duduk bersebelahan. Awalnya semua hanya biasa-biasa saja. Kak Suga hanya memberikan satu bakpao ayam padaku untuk kumakan. Sampai akhirnya, kejadian itu terulang lagi; Kak Suga tiba-tiba menarik kepalaku agar aku dapat menaruhnya di atas bahu hangatnya.
Aku bungkam, tidak tahu harus berkata apa. Tapi rasanya, pikiran tentang kepergiannya itu semakin kuat, semakin teringat. Apa yang dia lakukan padaku hari ini begitu manis, dan dia akan pergi begitu saja. Bukankah itu sudah jelas? Semua ini hanya sementara. Ini tidak kekal. Ini memang manis, nyaman, membahagiakan—tapi percayalah, ini akan berujung menyakitkan.
Aku tahu, aku mungkin terlalu banyak memikirkan hal ini. Terlalu keras memikirkannya, sampai-sampai air mataku tiba-tiba saja menetes tanpa kusadari.
Dan seperti yang kubilang, Kak Suga kali ini sudah peka. Entah bagaimana caranya ia bisa tahu kalau aku meneteskan air mata. Tapi yang jelas, jari-jemarinya tiba-tiba menyentuh wajahku. Tangannya yang sedari tadi merangkul tubuhku kini diangkatnya, berusaha menghapus air mata yang mulai membasahi pipiku.
Kukatakan sekali lagi, ini manis. Tapi ini tidaklah kekal. Ini hanya sementara.
"Wendy," dia memanggil. Tangannya masih sibuk menghapus air mataku. "Jangan dipikirin."
Astaga, rupanya dia tahu. Dia tahu apa yang selama ini kucemaskan. Dan bukannya merasa tenang, aku malah menangis semakin keras. Air mataku semakin kukeluarkan. Kenapa aku tidak dapat mengendalikan emosiku sendiri?
"Loh, malah makin nangis.." dia berujar, merasa bersalah. Samar-samar, aku dapat mendengar suaranya sedikit terkikik.
"Kak Suga jangan pergi!" seruku, dengan suara yang sedikit keras. Air mataku ikut menderas. Astaga, akhirnya aku berani mengungkapkannya. Mengungkapkan apa yang selama ini selalu membuatku khawatir, walau aku tahu dia sebetulnya sudah lama menyadarinya.
"Widih, aku ditangisin," Kak Suga mencibirku, ia tertawa pelan. Apa-apaan ini? Kenapa dia malah menertawakanku?
"Kak Suga nyebelin!"
"Biarin," balasnya. "Udah aku bilang jangan dipikirin, kok. Nikmati aja dulu momen-momen kaya gini. Ibarat hari ini hari Minggu, terus besoknya kamu ada ujian, nikmati dulu hari Minggu-nya. Kalo masih hari Minggu, ya Minggu. Pusing-pusing soal ujiannya itu urusan hari Senin. Nggak usah terlalu dipikirin. Lagian kan sekarang udah ada fitur video call."
Aku memutar kedua mataku. "Kok tiba-tiba ceramah, sih? Ketularan Kak Namjoon, ya?"
"Iya kali," Kak Suga terkekeh. Sumpah, setelah dia bilang begitu, semua kecemasanku berangsur-angsur hilang. "Wen."
"Hm?"
"Nggak usah dipikirin, ya?" ujarnya. "Mau kita sedekat nadi, atau sejauh matahari sekalipun.. aku tetap sayang kamu, kok."
♡
k u e t i r a m i s u
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma.
FanfictionSuga bilang, karma itu nggak nyata. Tapi karma menjawab, lo berikutnya. [BTS' Suga & Red Velvet's Wendy fanfiction] status; completed✔️ © kuetiramisu | 2018