BAB 3 BUNUH DIRI

32.3K 1.4K 20
                                    

Saat ini, aku sedang berada di kantor polisi di ruangan kerja Pak Tito. Aku di sini karna Pak Tito menghubungiku dan memintaku segera datang setelah aku keluar dari ruangan Pak Bara. Aku pun dengan cepat menyelesaikan beberapa pekerjaanku dan meminta izin pulang cepat kepada Pak Bimo. Untungnya, aku diizinkan pulang cepat dan bergegas pergi tanpa menghiraukan tatapan Pak Bimo dan Mila yang merasa khawatir kepadaku yang begitu tergesa-gesa setelah keluar dari ruangan Pak Bara.

Aku sedang menunggu Tito. Tito saat ini sedang rapat dengan atasannya. Aku tidak tahu itu saat tiba di sini. Yang kutahu saat ini adalah Tito akan memberi kabar baik untukku. Bahwa si pelaku pemerkosa telah ditemukan.

Tito muncul dihadapanku dan duduk di kursinya. Kulihat raut wajahnya berubah saat melihatku. Raut wajahnya menunjukkan wajah bersalah. Aku mulai takut. Semoga saja raut wajah Tito tidak membawa pertanda buruk bagiku. Semoga sajanya, Tuhan. Aku sangat berharap kepada-Mu.

Tito menarik nafas panjang lalu menghembuskannya. Dia menatapku dengan tatapan rasa bersalah. Aku mencoba tegar. Seolah aku tidak dapat mengerti arti tatapan matanya. Dia mencondongkan badannya ke arahku. Melipat tangannya sejenak lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Lalu, kembali menatapku.

"Apa ada masalah, Pak Tito?" tanyaku sopan setelah selama ini aku selalu menyebutnya "Anda". Dia mengangguk. Semakin menambah rasa cemas dalam hatiku sejak melihat sorot matanya.

"Apa?" tanyaku mencoba tegar.

"Saya minta maaf. Kasusmu tidak dapat saya selesaikan. Kasusmu akan ditutup," ucapnya bersalah kepadaku.

Aku terkejut mendengar itu. Tanpa sadar setetes air mata membasahi pipiku. Apa yang aku takutkan terjadi? Tito tidak berhasil menemukannya.

"Pak Tito seorang polisi. Pak Tito juga sudah berjanji akan menemukannya!" ucapku kecewa. Dia menatapku diam.

Rasanya, aku ingin mati saat ini. Apakah aku tidak pantas untuk ditolong? Apa tidak bisa rasa sakit di dadaku hilang?

Namun, apa pun yang aku katakan agar kasus ini tidak ditutup. Dia tetap diam menatapku tanpa merasa kasihan dengan diriku saat ini.

"Ini tidak mungkin. Pak Tito pasti bohong 'kan!"

Dia tetap diam manatapku. Aku seperti bicara dengan patung. Apa ini sudah menjadi nasibku.

"Aku mohon jangan tutup kasusku," pintaku memohon.

Rasanya, sakit! Jika kasusku harus ditutup. Sementara si pelaku tetap berkeliaran di luar sana dan aku menderita di sini.

"Maafkan saya, Pita."

Tanpa sadar aku memukul dadaku yang terasa sesak saat mendengar itu. Bahwa Pak Tito tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menunduk. Seolah takut menatapku. Kenapa dunia begitu kejam kepadaku? Kenapa aku harus mengalami semua ini?

Aku benci. Aku benci. Aku benci hidup ini. Aku tidak bisa menahan ini lagi. Aku tidak bisa menahan air mataku agar tidak jatuh di pipiku. Tangisku pecah di depannya dan Tito membiarkan aku menangis. Mungkin, Tito berpikir bahwa air mata dapat menenangkanku.

"Saya dan tim sudah melakukan penyelidikan di apertemenmu. Kami tidak menemukan jejak pelaku. Pelaku sepertinya sudah merencanakan ini semua. Bahkan, cctv di lorong apertemenmu di bagian depan dan belakang gedung apertemen rusak saat kejadian itu terjadi."

Aku berhenti menangis. Aku menghapus air mataku dengan ibu jariku dan menatap Tito penuh harap. Entah kenapa, aku merasa ada kesempatan untukku saat mendengar penjelasannya.

#1 PITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang