BAB 9BARA YANG SEBENARNYA

3.5K 126 2
                                    

Aku baru siap mandi. Setelah berendam cukup lama di jacuzzi. Menenangkan pikiranku. Dari ingatanku, mengingat malam pemerkosaan, tadi pagi di dapur. Aku memilih beberapa pakaianku, sebenarnya ini bukan pakaianku semuanya. Ini semua dibeli oleh Bara. Mau tak mau aku harus menggunakan pakaian yang dibeli Bara. Meski dalam hati kecil tidak sudi memakai barang pemberiaan Bara. Tapi, mau gimana lagi. Semua pakaianku tinggal di apertemenku. Aku tidak boleh keluar mansion. Aku menjadi tahan rumah Bara. Bahkan, aku tidak bisa bekerja lagi. Bara telah memberikan surat pengunduran diri aku ke perusahaan. Padahal, aku tidak ada membuat surat itu. Selain itu, semua data penting tentang aku, Bara yang memegang. Sepenuhnya, Bara menjadi wali atas diriku. Padahal, aku tidak pernah memintanya. Dan itu semua sudah dipersiapkan Bara jauh sebelum aku di perkosa oleh Bara. Dan aku baru tahu, setelah Bara memberitahukan kepadaku saat dia membawa aku pergi dari Bali. Tentunya, tanpa data pentingku, aku tidak bisa memulai hidup baru dan mencari pekerjaan.

Setelah memakai pakaian yang nyaman untukku. Aku berjalan menuju meja rias. Mengambil hair dryer dan mengeringkan rambut panjangku. Sama-samar aku mendengar suara ribut di luar. Aku mematikan mesin hair dryer, mempertajam pendengaranku. Suara ribut itu berasal dari ruang tengah yang tidak jauh dari kamarku. Aku memutuskan keluar dari kamar untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata, Bara sedang memarahi seorang pelayan. Bara tampak marah besar terhadap pelayan itu. Sama dengan kejadian kemarin waktu itu, Bara marah besar kepada seorang pelayan yang meletakkan garpu di meja makanku. Aku melihat wajah pelayan itu. Bukan dia pelayan yang memberi aku garpu. Seharusnya, dia sudah di pecat. Kenapa masih bekerja disini. Tunggu dulu, sejak kapan aku peduli dengan pekerja Bara. Itu bukan urusanku.

Aku memfokuskan kembali pandanganku pada mereka. Aku dapat merasakan suasana mencekam dari raut wajah Bara yang memancarkan rasa takut yang besar kepada siapapun yang sedang di tatap tajam seperti itu. Sampai membuat aku merinding.

"Kenapa kau hanya diam?" bentak Bara pada pelayan itu. Pelayan itu menunduk tak berani menatap Bara yang sedang marah besar. Aku penasaran apa yang membuat Bara marah seperti itu. Kesalahan apa yang telah dilakukan oleh pelayan.

"Apa kau tuli dan bisu. Hingga kau tidak menjawab aku" tekan Bara mencengkram wajah pelayan itu dengan kuat. Kulihat pelayan itu meringis kesakitan di pipinya.

"Jawab aku, sebelum kesabaranku habis" ancam Bara. Tunggu dulu, Bara baru saja menunjukkan dirinya tidak suka tidak dijawab oleh pelayan. Lalu, kenapa selama ini dia begitu sabar menghadapi sikap diamku padanya. Bahkan, Bara tidak pernah marah padaku. Meski, aku selalu bersikap kasar kepadanya.

"JAWAB" suara Bara menggema di ruang tamu. Siapapun yang mendengarnya pasti ketakutan termasuk aku saat ini.

"Maaf tuan saya telah melakukan kesalahan" jelas pelayan itu memohon ampun Bara.

"Jelas kau melakukan kesalahan. Tapi, bukan itu yang aku ingin keluar dari mulutmu" Bara menghempaskan kasar wajah pelayan itu.

Pelayan itu menatapku tidak suka. Tatapannya, tatapan benci kepadaku. Kenapa dia? Kenapa menatap aku seperti itu. Seolah aku penyebab dia diperlakukan seperti itu oleh Bara.

"Siapa yang kau lihat" tanya Bara mengikuti arah tatapan pelayan itu kepadaku. Mataku dan mata Bara bertemu. Tatapan matanya lembut padaku. Kembali berubah tajam menatap pelayan yang duduk dihadapannya.

"Kenapa kau menatap gadisku seperti itu" tanya Bara tegas. Mendengar itu, aku kesal. Aku tidak gadis lagi, Bara. Apa kamu lupa, kamu telah merebut kegadisanku.

"Aku membencinya" Apa dia membenciku. Kenapa? "Tuan terlalu memperhatikan wanita jalang itu" Apa dia baru saja mengatakan aku wanita jalang. Aku berjalan mendekat ke arah pelayan itu untuk memberi pelayan itu pelajaran. Beraninya dia mengatakan aku wanita jalang. Aku harus menampar mulut pedasnya itu. Sebelum aku ingin menampar pelayan itu, Bara telah menampar dia keras. Kulihat pelayan itu kesakitan memegang pipinya yang sudah merah. Baguslah, tanganku tidak kotor untuk melakukan itu.

#1 PITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang