Bab 1 Malam Petaka

62 1 0
                                    

Sore itu, aku menatap ragu sebuah gedung besar di depan mataku. Aku ragu karna aku tak begitu yakin kepada mereka. Bisakah aku memercayai mereka? Mampukah mereka menolongku? Namun, bukan itu yang membuatku ragu, melainkan benarkah tujuanku ini? Aku datang hanya untuk mencari keadilan. Lalu, siapkah diriku menanggung malu? Ini adalah aib besar meskipun aku tak sama dengan mereka. Mereka berbuat jahat, sementara aku tidak sama sekali. Hanya saja, kakiku tak mau beranjak sama sekali dari tempat ini. Itu artinya, aku butuh mereka, tetapi aku takut.
”Brengsek kau!” teriak seorang ibu yang usianya tak muda lagi. Aku tebak ibu itu berusia 60-an. Meskipun begitu, teriakannya itu seperti memberi kekuatan bagiku. Lantas, aku pun melangkah ke arah ibu itu. Aku penasaran. Kenapa ibu itu berani menampar pria berseragam orange. Padahal, sudah ada beberapa polisi yang mengawal pria berseragam orange itu. Apa ibu itu tidak takut sama sekali?
“Jahanam! Tak puaskah kau memerkosa putriku? Kenapa kau harus bunuh dia? Dia putriku satu-satunya!” teriak ibu itu menangis histeris. Aku pun syok. Diperkosa lalu dibunuh. Dunia macam apa ini. Meskipun begitu, haruskah aku bersyukur? Karna tak bernasib sama seperti putri ibu itu. Namun, duniaku tak sama lagi semenjak kejadian itu. Duniaku telah berubah. Duniaku remuk dan hancur. Tak ada yang bisa aku perbaiki lagi. Sama halnya dengan ibu itu. Dia kehilangan putrinya. Namun, ibu itu tak ada rasa takut seperti diriku. Ibu itu berani. Kenapa aku tak bisa seperti ibu itu? Aku juga mau menuntut keadilan.
Lantas, dengan langkah mantap, aku pun pergi memasuki ruangan itu. Ya, aku masuk ke dalam kantor polisi. Saat itu, setelah aku berada di dalam ruangan kantor polisi, mataku langsung menatap sekeliling. Mereka tampak sibuk sekali. Sibuk menginterogasi para pelaku kejahatan. Cara interogasi mereka pun sangat keren, tetapi aku tak suka. Apakah semua polisi harus seperti itu? Mereka tampak menyeramkan di mataku. Rasa raguku pun kembali muncul. Padahal, aku sudah berada di dalam tempat ini. Bahkan, aku bersikap seperti patung di antara mereka meskipun tak ada satu pun petugas menghampiriku. Haruskah aku mundur? Padahal, tinggal selangkah lagi, aku bisa mencari keadilan. Hanya saja, aku tidak tahu kepada siapa aku bertanya jika mereka semua tampak sibuk sekali dan juga tak ada yang peduli kepadaku. Aku bagaikan hantu di mata mereka. Jika sudah seperti ini, aku lebih baik pulang saja. Akan tetapi, langkahku tiba-tiba terhenti kala seorang petugas polisi bertubuh tegap menghampiriku. Bukan, lebih tepatnya, dia menghalangi jalanku ketika aku sudah dekat dengan pintu keluar. Lalu, dia juga menatapku dengan sorotan mata penuh bertanya-tanya. Aku bisa tebak apa yang sedang dia pikirkan. Kenapa aku bisa di sini? Kenapa aku hanya diam berdiri sembari melihat mereka semua bekerja? Meskipun begitu, aku tak tertarik lagi sekalipun ada salah satu petugas menghampiriku. Kenapa? Sebab aku tak suka dengan sikap tak profesional mereka.
"Permisi!” sapaku sembari menunduk ke arahnya dan berjalan ke arah samping karna petugas itu tak mau memberiku jalan.
"Apakah urusanmu sudah selesai?” tanya dia ketika aku hampir dekat dengan pintu keluar. Akibatnya, langkahku pun terhenti lalu berbalik badan untuk menatapnya. Apakah dia sedang bicara kepadaku atau tidak? Ternyata, memang benar, dia bicara kepadaku. Lihat saja, dia sekarang melangkah mendekat ke arahku untuk membuktikan itu.
           Lantas, aku pun mulai bersuara, “Aku….” Namun, terpaksa harus terhenti karna salah satu petugas datang menghampiri dia dan tak lupa memberi hormat kepadanya. Melihat itu, aku bisa tebak bahwa petugas di depan mataku ini memiliki jabatan lebih tinggi dari yang lainnya. Kalau tidak, setiap mereka yang melihat dia seharusnya tidak perlu memberi hormat kepadanya. Apalagi, penampilannya tak sama dengan yang lainnya. Dia hanya memakai baju bebas dengan kalung atribut pengenal polisi tergantung di lehernya. Kendati demikian, aku dapat pelajaran dari kejadian ini. Aku tak boleh menilai seseorang dari luarnya saja. Kenapa? Karna petugas di depanku ini ternyata seorang kapten sesuai dengan tebakanku bahwa dia memiliki jabatan lebih tinggi. Aku tahu itu setelah tak sengaja menguping pembicaraan mereka berdua.
"Baik, Kapten!” Kalau tidak salah dengar, tadi, namanya, Kapten Gery.
“Sekarang kamu boleh pergi. Terima kasih laporannya!” perintahnya tanpa menatap bawahannya sebab dia sedang fokus memperhatikan isi map yang barusan dia terima dari bawahannya. Melihat itu, lagi-lagi, aku kembali ragu. Mungkin lebih tepatnya, aku kecewa sebab dia tak mungkin bisa membantuku jika dia sedang sibuk sekarang ini. Kali ini, aku akan benar-benar pergi dari tempat ini. Namun, itu hanya sesaat saja.
           “Hei, Nona! Kenapa kamu ingin pergi?” serunya tiba-tiba tanpa menatap ke arahku. Matanya masih tertuju pada map di tangannya itu. Melihat itu, aku diam tak menjawab. Aku bingung mau bicara apa kepadanya.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku,” tatapnya serius. Aku pun mulai takut melihat sorot mata tajamnya itu. "Apa karna ini?” tunjuknya pada map di tangannya. "Ayo, ikut aku!” ajaknya seperti perintah saja. Anehnya, aku malah menurut saja seharusnya aku menolak. Namun, kakiku tak mau mendengarkan hatiku. Kakiku lebih mengikuti perintah otakku hingga aku baru tersadar telah sampai di ruang kerja kapten tersebut. Ruang kerja yang tak jauh dari tempat kami bertemu tadi. Ruang kerja yang tembus pandang sebab dindingnya terbuat dari kaca. Jadi, dari luar ruang kerjanya, siapa pun bisa melihat kami berdua. Begitu juga sebaliknya. Jadi, aku merasa aman jika hanya kami berdua saja di dalam ruangan ini sebab dia tidak akan berbuat macam-macam kepadaku.
“Silahkan duduk!” serunya setelah dia duduk duluan di kursi kerjanya. Aku pun mengangguk mengerti dan segera duduk di hadapannya. Saat itu, dia tidak langsung bicara kepadaku. Dia justru menatapku serius dengan memainkan kedua jempolnya. Melihat itu, aku tak suka dan juga tak takut lagi sebab tatapan mata seriusnya kepadaku seperti berkata, "Kamu pikir ini tempat bermain sehingga kamu bebas datang ke mari?” Aku merasa bahwa dia sedang meremehkanku saat ini. Aku tidak tahu kenapa aku harus berpikir seperti itu. Padahal, sudah syukur dia mau bertemu denganku walaupun aku tak minta sama sekali. Ayolah, diriku. Tolonglah tenang. Aku harus mendapat keadilan dari tempat ini.
           “Jadi, apa yang membuatmu datang ke sini?” tanyanya dengan nada lembut. Lantas, aku pun tersentak mendengar itu. Apa dia bisa menebak keraguanku terhadap dirinya? Semoga saja, tidak.
           “Aku…” sial. Kenapa suaraku seperti tertahan di tenggorokkanku? Aku harus cerita. Aku harus kuat. Ingat, tujuanku adalah mendapat keadilan seperti ibu yang tadi. Masalah dia percaya atau tidak, itu urusan belakang. Bagaimanapun dia seorang polisi, dia pasti tahu bahwa aku tak berbohong. Jadi, berhenti untuk takut! Ya, aku tidak boleh takut. Aku pasti sanggup menceritakan itu semua kepadanya.
           “Ceritalah! Mungkin, saya bisa membantu!” serunya menatapku lembut. Lagi-lagi, dia dapat membaca pikirannku. Lantas, aku pun menarik napas sedalam mungkin kemudian menghembuskan napasku dengan pelan.
“Aku telah diperkosa.” Akhirnya, kalimat itu keluar juga. Lalu, aku segera menatap wajahnya. Saat itu, kala aku selesai mengucapkan kalimat tersebut, kulihat ada raut wajah terkejut pada dirinya, tetapi dia, dengan cepat, menetralkan dirinya.
           “Bisakah kamu menceritakan bagaimana itu terjadi?” tanyanya pelan, tetapi sorot matanya menatapku serius. Lantas, aku pun terdiam terkejut sebab aku tak menyangka bahwa aku harus menceritakan itu kepadanya. Aku lupa sekali bahwa siapa pun yang datang ke kantor polisi memang diwajibkan untuk menceritakan semua peristiwa yang dialamin oleh pelapor.
Aduh, gimana ini! Apa aku sanggup menceritakan itu semua? Aku benci jika harus mengingat kejadian itu lagi. Namun, dia butuh penjelasanku. Kalau tidak, dia tidak akan percaya kepadaku meskipun, saat ini, dia hanya diam menatapku dengan tatapan yang tak bisa kutebak sebab dia begitu tenang menatapku.
           “Aku akan cerita semuanya, tetapi Anda harus bisa menangkap pelakunya!” ucapku seperti ancaman. Entahlah, kenapa aku harus bersikap seperti ini kepada petugas polisi. Padahal, sudah tugas mereka untuk menolong masyarakat. Namun, kenapa aku harus ragu kepadanya?
           “Saya tidak bisa menjamin seratus persen. Akan tetapi, kami pihak kepolisian pasti bisa menangkap pelakunya!” tekannya tegas untuk menyakinkanku. Akan tetapi, firasatku berkata lain. Dia tidak akan bisa menangkap pelaku meskipun aku sudah menceritakan semuanya.
           ***
Pagi itu, aku tersentak. Aku tersentak dari tidurku. Tersentak karna aku mimpi buruk. Mimpi yang begitu nyata hingga aku keringat dingin di atas tempat tidur. Dadaku tiba-tiba sesak jika mengingat mimpi buruk itu. Ini pertama kalinya, aku seperti ini semenjak Papa dan Mama pergi untuk selamanya dari hidupku. Tiba-tiba, aku disadarkan oleh suara jam wekerku. Kring, Kring, Kring. Lantas, aku segera menoleh ke jam weker. Sekarang waktu tepat menunjukkan pukul 06.00 WIB. Lalu, aku pun segera mematikan jam weker dengan raut wajah kesal dan bicara di dalam hati bahwa aku tidak perlu jam weker lagi karna bangun lebih awal dari jam yang sudah aku tentukan. Namun, pada saat itu, rasa kesalku cepat hilang ketika aku beranjak dari tempat tidur. Aku tiba-tiba merasakan sakit yang luar biasa di area sensitifku dan juga bertanya-tanya di dalam hatiku. Kenapa perih sekali bagian selangkanganku? Jika yang aku takutkan adalah mimpi. Pada saat itulah, aku pun tersadar bahwa rasa sakit ini adalah nyata sehingga aku pun segera memperhatikan pakaianku, tetapi pakaianku masih sama. Lalu, isi kamarku yang ternyata juga rapi seperti biasanya. Aku pun mulai kebingungan dengan semua itu. Semuanya tampak tidak terjadi apa pun seperti di dalam mimpiku, tetapi kenapa perih sekali. Lantas, aku pun segera turun dari tempat tidur dan berjalan tertatih ke arah cermin. Pada saat itulah, aku percaya bahwa apa yang kualami bukanlah mimpi, melainkan nyata bahwa aku telah diperkosa setelah aku melihat tampang diriku yang amat kacau sekali seperti di dalam mimpiku.
           ***
           “Mohon maaf sebelumnya. Apa yang membuat dirimu yakin sekali telah diperkosa?” tanyanya tampak tidak percaya dengan ceritaku. Jujur, aku tersinggung sekali. Namun, aku sadar bahwa siapa pun yang mendengar ceritaku ini pastinya tidak akan percaya. Oleh sebab itu, aku sudah menyiapkan sesuatu sebelum datang ke sini. "Apa ini?” tanyanya heran setelah aku memberinya sebuah amplop putih dari dalam tasku.
           “Itu adalah hasil pemeriksaan dari dokter sebelum aku ke sini. Awalnya, aku juga sama dengan Anda. Tidak percaya sama sekali. Namun, rasa sakit dan tanda pada tubuhku membuatku yakin sekali bahwa aku telah diperkosa. Meskipun begitu, apa yang aku yakini belum bisa dipastikan jika tidak ada bukti nyata. Jadi, untuk membuktikan itu, aku memutuskan untuk pergi ke rumah sakit,” jelasku penuh harap agar dia memercayaiku.
Lalu, dia pun mengangguk mengerti kala mendengar penjelasanku. Kemudian, dia pun membaca isi surat itu dengan teliti. Setelah itu, dia memanggil bawahannya untuk memeriksa apakah surat yang aku berikan itu adalah asli atau palsu. Melihat itu, aku tidak marah karna dia sedang melakukan tugasnya meskipun sebenarnya aku merasa kecewa sekali dengan sikapnya itu. Dia tampak sekali meragukanku. Sekarang aku pun mengerti. Kenapa aku tidak bisa memercayainya.
           “Lalu, apa yang membuatmu yakin? Bahwa itu bukan mimpi, melainkan nyata!” serunya yang berhasil membuatku kesal dan tak suka menatapnya. Dia masih bisa meragukanku. Padahal, aku sudah memberikan bukti nyata kepadanya. Apa dia kira aku sedang bermain-main ke sini?
           “Karna aku mengingat dengan jelas, bagaimana dia mendekapku, mengancamku, menarikku hingga memerkosaku!” tekanku penuh emosional. Masa bodoh jika dia tidak senang dengan sikapku. Aku tidak sanggup lagi menahan ini semua. Ini sungguh menyakitiku hingga aku tak sadar telah menangis histeris dihadapannya. Saat itu, dia masih bisa bersikap baik kepadaku dengan memberikan tisu kepadaku. Aku pikir dia tidak akan peduli kepadaku. Lantas, aku pun menerima tisu tersebut dan menghapus air mataku serta ingusku.
           “Lalu, apa kamu ingat wajahnya?” tanyanya sembari memberikanku segelas air putih. Aku pun menerima air putih tersebut dan menatap gelas itu dengan tatapan kosong. Wajah pelaku. Aku tak bisa ingat itu dengan jelas sebab dia.
           “Dia pakai topeng. Jadi, yang terlihat dari wajahnya adalah hanya setengah dari wajahnya, yaitu senyum iblis.” Sial. Kepalaku tiba-tiba sakit jika mengingat senyum iblis dari pelaku.
           “Pelaku mungkin akan segera tertangkap jika seandainya kamu melihat wajahnya?” tanyanya yang kembali membuatku emosional. Kali ini, aku emosional berbentuk marah kala mendengar dia berkata seperti itu. Apa dia tidak punya otak dan telinga? Lalu, ke mana perginya cerita yang kusampaikan tadi? Dasar polisi menyebalkan.
           “Bukankah itu sudah menjadi tugas kalian sebagai polisi? Mencari pelaku dan menangkapnya!” tekanku penuh amarah. Dia pun tiba-tiba terdiam menatapku. “Aku tidak sedang mengarang cerita. Aku tidak main-main datang ke sini! Aku justru malu karna harus membongkar aibku kepada orang lain, terutama kepada Anda. Seharusnya, kalian sebagai polisi yang bisa diandalkan masyarakat menyakinkanku bahwa kalian pasti bisa menangkap pelaku pemerkosaku bukan malah membuat aku kecewa. Terutama, saat Anda berkata 'ceritalah! Saya mungkin bisa membantu', nyatanya, Anda telah membuatku kecewa sekali sebab Anda sangat ragu dengan ceritaku!” tekanku dengan penuh emosional yang menggebu-gebu.
Namun, dia hanya tertunduk seperti orang yang merasa bersalah saja. Padahal, aku yakin sekali bahwa tidak ada rasa penyesalan dalam dirinya. Kalau ada, dia pasti meminta maaf kepadaku bukan malah diam seperti patung. Menyebalkan.
Tuk, tuk, tuk. Terdengar suara pintu diketuk. Lantas, aku pun menoleh ke sumber suara ketukan pintu tersebut. Ternyata,  yang mengetuk pintu adalah bawahan yang tadi dia suruh untuk memeriksa isi suratku. Bawahan itu datang untuk melaporkan bawah isi suratku adalah asli. Lantas, saat mendengar itu, dia pun menatapku dengan mimik wajah yang tak bisa kutebak. Namun, yang pasti, pada saat itu, aku bisa lihat rasa bersalahnya kepadaku melalui sorot matanya.
           “Saya minta maaf atas sikapku yang kurang terpuji tadi. Saya berjanji akan menuntaskan masalahmu,” katanya penuh penyelasan dan juga mulai serius menanggapiku. “Sekarang saya minta kamu melanjutkan semua ceritamu yang sempat terpotong olehku agar saya dan tim dapat menemukan pelaku,” lanjutnya kembali. Mendengar hal tersebut, aku pun tak masalah memberinya kesempatan lagi.
           ***
           Sabtu, 01 Oktober 2016
          Pada malam itu, aku selalu menjalani hari-hariku seperti biasanya. Namun, siapa sangka, jika malam itu, adalah malam petaka bagiku.
Aku baru saja pulang hangout bersama teman semasa SMA-ku di sebuah café di jalan Senopati, Jakarta Selatan. Setiap malam minggu, kami selalu kumpul-kumpul untuk menghabiskan waktu bersama pada akhir pekan. Kendati demikian, aku selalu pulang tepat waktu, yaitu pada pukul 10.00 WIB. Kenapa? Karna aku tidak nyaman jika pulang pada tengah malam. Apalagi, aku ini seorang gadis yang hidup sebatang kara. Sungguh tidak baik jika aku pulang terlalu malam. Nanti, akan ada gosip tentang diriku. Aku tak mau itu. Tolong jangan menatapku seperti itu. Aku tak mau dikasihani. Kembali ke topik.
Sebelum pergi dari tempat itu, aku selalu pamit terlebih dahulu kepada mereka. Lalu, aku balik ke rumah menggunakan taksi sebab aku tidak membawa kendaraan dan juga tidak mau diantar pulang oleh teman-temanku. Kenapa? Karna aku tidak mau mereka tahu di mana aku tinggal meskipun aku tahu mereka sedang mencoba membantuku bukannya bermaksud lain.
Setibanya, di rumahku, yaitu apertemenku. Aku selalu disapa oleh satpam. Aku pun selalu membalas sapaan dari mereka. Setelah itu, aku berjalan memasuki gedung dan naik lift menuju lantai apertemenku yang terletak di lantai ke-10. Setibanya, di apertemen, aku langsung mandi dan memakai baju santaiku. Saat itu, ketika hendak ingin tidur, aku tiba-tiba mendengar suara bel pintu apertemenku. Lantas, aku segera melirik jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul 11.00 malam. Aku pun mulai was-was karna, untuk pertama kalinya, ada yang menekan pintu bel rumahku selama tinggal di tempat ini. Lalu, aku mencoba memberanikan diriku berjalan menuju pintu untuk mengintip dari lubang kecil yang tersedia pada pintu dan untuk mengetahui siapa yang menekan bel rumahku. Saat itu, ketika sedang mengintip, aku melihat sosok pria yang sedang membelakangiku. Lantas, aku pun semakin merasa aneh dan heran. Kenapa tiba-tiba ada seorang pria yang datang ke apertemenku pada pukul 11.00 malam? Jujur, aku tidak pernah menerima tamu karna aku tidak pernah memberikan alamatku pada temanku ataupun pihak kantor.
Saat itu, aku pun mulai cemas dan juga kebingungan. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mungkin membuka pintu rumahku sembarangan kepada orang yang tidak kukenal. Lalu, bagaimana caranya agar dia pergi dari tempatku? Apalagi, suara bel rumahku semakin kencang di telingaku dan itu semakin membuat diriku takut dan juga mulai pusing karna aku tak tahu harus berbuat apa. Semuanya tampak kacau sekali hingga aku tak sengaja menemukan sebuah solusi ketika mataku menatap telepon rumah.
Lantas, aku pun segera meraih ganggang telepon tersebut untuk menghubungi satpam. Ya, mereka bisa membantuku untuk mengusir pria yang tidak kukenal itu. Apalagi, sudah tugas mereka untuk melindungi para penghuni apartemen. Untungnya, mereka percaya kepadaku. Jadi, aku bisa bernapas lega sembari menunggu kabar baik dari mereka. Namun, kabar dari satpam berhasil membuatku menunggu dalam waktu yang cukup lama. Akibatnya, gelisahku semakin tidak terkendalikan sebab sosok pria di depan pintuku terus-menerus menekan tombol bel rumahku hingga aku tidak bisa menahan kesabaranku lagi. Aku pun bergegas ke dapur untuk mengambil sesuatu sebagai alat pelindungku jika seandainya sosok pria di depan pintuku ini adalah orang jahat ketika aku membuka pintu rumahku.
  Tiba di dapur, aku berhasil menemukan sebuah alat sebagai pelindungku. Lalu, aku pun bergegas ke pintu depan sembari bersiap-siap mengancungkan alat panjang yang terbuat dari kayu yang disebut sebagai alat penumbuk pada lumpang. Namun, saat itu, ketika aku hendak membuka pintu, tiba-tiba aku mendengar suara petugas satpam. Lantas, aku pun tak jadi mengancungkan alat pelindungku. Aku justru bergegas cepat membuka pintu karna aku penasaran dengan sosok pria misterius itu. Namun, apa yang aku harapkan tidak terjadi. Kenapa? Sebab tidak ada siapa-siapa di lorong lantai apartemenku, selain petugas satpam yang menatapku dengan tatapan terkejutnya karna di tanganku ada alat penumbuk lumpang.
           “Seperti yang Neng lihat, tidak ada siapa-siapa yang berdiri di sini,” jelas satpam ramah sekaligus was-was kepadaku karna adanya alat penumbuk di tanganku.
           “Bapak sudah periksa semuanya?” tanyaku memastikan sebab firasatku berkata bahwa sosok pria misterius itu masih di sini, tetapi dia sedang bersembunyi di suatu tempat.
           “Sudah Neng,” jelasnya lembut. Jujur, aku kecewa mendengar itu. Akan tetapi, aku juga merasa bersalah karna secara tidak langsung aku telah terbukti berbohong kepada mereka sebab tidak ada siapa pun di lorong ini.
           “Maaf telah merepotkan para bapak,” ucapku malu.
           “Tidak apa-apa, Neng. Kita justru merasa senang Neng langsung menelpon kami. Di mana tindakan Neng itu sudah tepat. Hanya saja, memang tidak ada orang di sekitar sini,” jelas mereka yang semakin membuatku merasa bersalah.
Lalu, mereka pun pergi dari hadapanku setelah berhasil menyakinkanku bahwa aku baik-baik saja meskipun aku masih ada rasa takut. Namun, aku tak bisa berbuat apa pun, selain hanya bisa menatap mereka melangkah ke arah lift kemudian masuk ke dalam lift hingga pintu lift tertutup.
Saat itu, aku mulai merasa aman dan hendak menutup pintu, namun tiba-tiba saja aku disekap dari belakang. Tubuhku terkunci oleh sosok yang tidak kuketahui siapa orangnya. Lalu, dia mendorong tubuhku ke dalam rumahku sendiri hingga terdengar suara pintu apartemenku tertutup rapat sembari dia berkata, “Diam dan cukup nikmati!”
Aku tidak tahu apa maksudnya. Namun, yang pasti, aku begitu takut sekali hingga tubuhku terasa kaku seperti patung saat itu. Aku ingin memberontak, tetapi tenagaku tiba-tiba hilang tanpa sebab. Apalagi, dia menghirup aroma tubuhku seperti menghirup ganja. Aku merasa jijik diperlakukan seperti itu.
Siapa dia? Kenapa dia memperlakukan aku seperti miliknya saja?
Ini tidak benar. Aku tak bisa diam saja hanya karna rasa takut ini. Aku bukan mainan. Aku harus melawan rasa takutku. Aku harus lepas dari sosok misterius ini. Akan tetapi, bagaimana caranya? Dia masih mendekapku erat sekali. Harus ada cela agar diriku bisa lepas dari dekapannya. Tunggu sebentar, dia masih menghirup aroma tubuhku. Aku biarkan saja dia menikmati aroma tubuhku. Lalu, saat dia lengah, aku akan kabur dari dekapannya seperti saat ini.
"Aw!” rintihnya kesakitan sebab aku memukul perutnya menggunakan siku tanganku dengan keras sekali. Lalu, aku segera berlari ke arah dapur sebab dia menghalangiku kala aku hendak kabur ke arah pintu keluar. Jadi, aku tak punya pilihan saat itu, selain berlari ke dapur. Apalagi, alat penumbukku telah dia campakkan entah ke mana saat dia mendekapku dengan erat sekali. Tiba di dapur, aku langsung mengambil pisau dan langsung mengarahkan pisau tersebut ke dia sebelum dia menangkapku.
Saat itu, dia kaget karna aku begitu berani mengancungkan pisau ke arahnya. Akan tetapi, tindakanku tidaklah berhasil membuat dia takut sama sekali kepadaku. Padahal, aku tak takut untuk melukainya jika sudah mengancam nyawaku. Anehnya, dia justru tersenyum tipis kepadaku. Apalagi, senyumnya itu sangatlah menakutkan sekali di mataku. Aku tak suka.
Siapa dia? Kenapa dia bertindak seperti ini kepadaku? Apa salahku? Aku tidak pernah merasa telah menyakiti orang lain. Aku selalu menyendiri. Selain itu, aku tidak terlalu berbaur dengan orang-orang di sekitarku.
Sial! Kenapa aku bodoh sekali? Kenapa aku begitu mudahnya memercayai perkataan satpam? Bahwa tidak ada siapa-siapa di lorong apartemen ini. Nyatanya, sosok pria misterius itu adalah dia. Namun, di mana dia bersembunyi? Bagaimana dia muncul begitu saja hingga aku tak menyadari itu? Sialnya lagi, dia memakai topeng. Jadi, aku tak bisa mengenalinya, kecuali senyum iblisnya itu.
           “Siapa kau?” tanyaku memberanikan diriku sembari masih mengarahkan pisau ke arah dia. Aku melakukan itu untuk berjaga-jaga jika dia tiba-tiba mendekat.
           “Aku adalah pemilikmu,” jelasnya dengan suara berat. Lantas, aku pun terkejut mendengar itu. Aku bukan milik siapa pun. Aku adalah aku. Aku adalah pemilik diriku sendiri. Aku adalah pemilikku.
           “Tidak! Aku bukan milikmu. Sebaiknya, kau cepat pergi dari sini. Jika tidak, aku akan menusukmu!” ancamku marah. Namun, apa yang kuharapkan tidak terjadi. Dia tidak takut sama sekali. Dia justru semakin mendekat ke arahku sekaligus semakin membuatku takut. Meskipun begitu, aku tak boleh menyerah. Akan aku buktikan bahwa aku tak main-main dengan perkataanku barusan. Lantas, aku pun melangkah maju untuk menusuknya. Akan tetapi, dia berhasil menggagalkan niatku. Dia berhasil mengambil pisau dari tanganku dengan gerakan cepat sekali kala aku hampir menusuk dadanya. Bahkan, dia kembali berhasil mendekapku dengan sebuah pisau menempel di leherku. Akibatnya, aku pun ketakutan sekali jika seandainya dia tak sungkan untuk membunuhku saat itu juga.
"Masih berani mengancamku?” bisiknya di telingaku dengan nada amarahnya. Aku pun langsung geleng kepala karna dia menekan kuat pisau di leherku. Aku belum mau mati. "Bagus!” serunya tertawa senang. Tawa yang amat menjijikkan di telingaku. Aku tak suka. Aku benci tawa itu. Aku ingin dia berhenti. 
           “Jika kau ingin harta, silahkan ambil uang di kamarku!” ucapku tiba-tiba. Lalu, dia pun berhenti tertawa. Cukup lama dia diam. Aku pun semakin was-was. Akan bagaimana nasibku setelah ini? Jujur, aku berharap dia tergiur dengan perkataanku barusan. Akan tetapi, dugaanku ternyata salah. Dia tidak tertarik sama sekali.
Dia justru berkata, "Aku tidak butuh uangmu, tetapi aku butuh kamu!” ucapnya yang berhasil membuatku syok sekali.
Dia menginginkan aku. Itu artinya, dia ingin. Tidak, tidak, tidak. Itu tidak boleh terjadi. Aku harus lepas darinya.
“Dalam mimpimu, Brengsek!” balasku menginjak kakinya dengan kuat sekali. Dia pun kesakitan. Jujur, aku tidak tahu dari mana muncul keberanianku itu. Namun, yang pasti, aku harus lari darinya. Aku harus pergi dari rumahku sendiri. Aku harus selamat. Untungnya, masih ada kesempatan untukku. Ya, aku berhasil keluar dari rumahku. Lalu, aku segera berlari ke arah lift kemudian menekan tombol lift sembari memperhatikan lorong apartemen untuk memastikan dia tidak mengejarku. Kendati demikian, bukan berarti aku sudah aman, melainkan belum sama sekali sebab pintu lift tak kunjung terbuka meskipun aku sudah menekan tombol lift berkali-kali. Aku tidak tahu kenapa pintu lift sulit terbuka. Padahal, ini sudah tengah malam. Di mana tidak banyak lagi penghuni yang keluar masuk di gedung ini. Selain itu, lift belum pernah bermasalah selama aku tinggal di tempat ini. Kalau begini, aku bisa tertangkap lagi olehnya. Aku tidak mau. Sepertinya aku harus lewat tangga darurat. Akan tetapi, tangga darurat berada di ujung lorong. Itu artinya, aku harus mengambil risiko jika seandainya dia tiba-tiba muncul. Aku tak mungkin membiarkan diriku tertangkap hanya karna tangga darurat meskipun dia belum muncul.
Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Tolong aku.
Ting. Pintu lift tiba-tiba terbuka. Aku pun sangat senang sekali. Akhirnya, aku selamat. Namun, saat aku hendak masuk ke dalam lift, aku kembali disekap dari belakang. Dia berhasil menangkapku. Aku pun semakin terpukul. Apakah ini akan menjadi akhir bagiku? Aku tak mau. Aku tak mau!
"Aw!” rintihnya kesakitan karna aku mengigit kuat tangannya ketika dia akan membawaku kembali ke apartemenku. Saat itu, pada kesempatan itu, aku segera meminta pertolongan kepada penghuni apartemen di lantai 10. Namun, tidak ada satu pun yang mendengar teriakkanku. Tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Aku pun menangis histeris dan juga putus asa sebab aku tak bisa kabur dari dia. Dia yang telah berhasil menangkapku dan membawaku kembali ke dalam rumahku sendiri.
           “Kamu telah membuatku marah besar!” teriaknya sembari menghempaskan tubuhku ke atas sofa. Saat itu, aku tidak mengerti. Akulah yang seharusnya marah besar di sini sebab dia telah mendekapku, mengancamku, dan mengklaim diriku sebagai miliknya.
"Dasar orang gila!” teriakku marah dan menatap benci ke arahnya.
"Apa!” serunya tak terima. Saat itu, dia hendak mendekatiku. Namun, tindakannya harus terhenti karna bunyi suara bel rumahku. Sontak, kami berdua pun saling tatap. Namun, dengan raut ekspresi wajah yang berbeda, yaitu aku senang, tetapi dia tidak. Lalu, dia pun menarikku dengan paksa dan menyuruhku untuk segera membuka pintu rumah. Saat itu, aku bingung. Kenapa dia begitu mudahnya menyuruhku membuka pintu? Apa dia tidak merasa terancam? Ternyata, dia sedang mempermainkanku. Dia mengancamku dengan menggunakan pisau yang dia tekan ke arah perutku sembari bersembunyi di belakang pintu sebelum aku membuka pintu.
"Buka!” perintahnya. Lantas, aku pun membuka pintu dan melihat sosok orang yang menekan bel rumahku. Ternyata, itu adalah tetangga sebelah. Tetangga yang sempat aku gedor-gedor pintu rumahnya sebelum aku tertangkap olehnya. Jujur, aku sangat senang melihat dia sebab aku bisa meminta tolong kepadanya. Akan tetapi, dia tidak paham dengan tatapan minta tolongku. Tetanggaku justru bertanya.
           “Apakah kamu juga mendengar ada seseorang mengedor pintu rumahku? Tadi, aku sempat mendengar suara ketukan pintu. Akan tetapi, setelah aku buka, tidak ada siapa-siapa.”
Saat itu, aku ingin sekali menjawab bahwa itu adalah aku, tetapi tidak bisa sebab dia menekan pisau itu ke perutku sehingga semakin membuatku takut.
           “Tidak! Aku tidak mendengar apa-apa,” ucapku terbata-bata.
           “Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya tampak cemas dan juga menatapku bingung. Saat itu, aku ingin sekali mengatakan tidak. Akan tetapi, pisau itu lagi-lagi membuatku terpaksa berbohong.
           “Aku baik-baik saja. Aku ingin tidur. Maaf!” ucapku segera menutup pintu tanpa memedulikan raut wajah dia yang menatapku dengan tatapan aneh. Setelah itu, setelah aku menutup pintu, dia tersenyum senang. Senyum iblis yang sangat menjijikan di mataku. Kemudian, dia mengelus pipiku dan juga menghapus air mataku. Aku menangis karna aku sangat takut kepadanya. Apalagi, dia tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke arahku. Sialnya, tubuhku tak bisa kugerakkan saat dia mendekat ke arahku.
           “Aku suka kamu patuh padaku,” bisiknya sembari mencium pipiku. Spontan, aku menampar pipinya dengan kuat. Lalu, kutatap dia dengan marah. Akan tetapi, dia malah bersikap santai. Anehnya, dia sangat menikmati tamparanku. Seolah-olah, tamparanku itu seperti elusan lembut di pipinya. Aku pun heran melihat itu. Kenapa dia? Sikapnya sangatlah aneh seperti psikopat.
Psikopat! Ya, ampun. Aku harus berhati-hati. Apalagi, saat ini, dia sedang berjalan ke arahku kala aku mencoba menjauh darinya. Sialnya, aku malah terpojokkan dan juga tersungkur ke sofa ketika aku mencoba menghindari dia yang semakin mendekat ke arahku. Saat itu, aku mencoba segera bangkit, tetapi dia malah menindihku dengan gerakan cepat. Akibatnya, aku kesulitan bernapas karna tubuhnya yang berat di atas tubuhku. Meskipun begitu, aku tak akan membiarkan dia bersikap seenaknya terhadap diriku seperti saat ini.
Dia berusaha mencoba menciumku, tetapi tidak bisa karna aku memberontak dan juga melawannya. Bahkan, aku tak segan-segan mencakar lehernya. Dia pun kesakitan sembari menjauh dariku. Lalu, dia menyentuh lehernya. Ternyata, cakaranku berhasil membuatnya terluka. Di mana, saat ini, dia sedang menatap darah di telapak tangannya. Jujur, aku sangat senang melihat dia terluka. Namun, akibat perbuatanku, aku harus menerima risiko. Kenapa? Karna aku telah membuatnya marah besar sebab sorot tatapan matanya semakin tajam menatapku. Aku pun mulai takut dan juga cemas. Apalagi, dia tiba-tiba mengancungkan pisau ke arahku. Yang mana sebelumnya, pisau tersebut dia ambil dari lantai.
Saat itu, dari tatapan matanya, aku yakin sekali bahwa dia tak segan untuk menusukku. Akan tetapi, itu tidak terjadi. Dia justru menghempaskan pisau tersebut kala aku telah siap untuk mati. Padahal, sedikit lagi, pisau itu menancap dadaku, tetapi pisau itu malah tertahan di depan mataku. Aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan. Namun, yang pasti, aku belum bisa bernapas lega karna dia tiba-tiba menarikku dengan paksa menuju kamarku sendiri. Tindakannya itu semakin membuatku cemas. Aku tak mau hal yang tidak kuinginkan terjadi di dalam kamarku sendiri di rumahku sendiri. Aku tidak mau hal itu terjadi di dalam hidupku. Aku tidak mau diperkosa.
Oleh sebab itu, aku mencoba melawannya, tetapi tidak bisa sebab pukulanku tidak membuat dia kesakitan meskipun aku kembali mengigit tangannya. Dia tidak peduli sama sekali. Dia tetap membawaku paksa ke dalam kamarku seperti membawa karung goni. Lalu, dia menghempaskan tubuhku ke atas kasurku dengan kasar. Kemudian, dia menatapku dengan tatapan lapar. Tatapan yang menunjukkan bahwa dia adalah seekor hewan buas yang tak sabar memakan mangsanya. Melihat itu, aku sangatlah ketakutan. Aku tak mau disentuh olehnya. Lantas, aku segera menghindarinya ketika dia mendekatiku. Namun, aku tak bisa keluar dari dalam kamarku sendiri sebab pintu kamarku telah dia kunci dan kunci kamarku ada di tangannya. Saat itu, dia tertawa puas kala aku tak bisa keluar dari kamarku sendiri.
"Sebaiknya, kamu patuh kepadaku!” serunya sembari menunjukkan kunci kamarku.
Aku tahu maksudnya. Dia ingin aku mendekat sendiri karna kunci tersebut. Namun, aku tidak akan melakukan hal itu karna aku tahu bahwa dia hanya menjebakku.
"Tidak akan pernah!” teriakku sembari melempari dia dengan benda apa pun yang ada di dalam kamarku. Namun, tidak ada satu pun lemparanku yang berhasil mengenai tubuhnya. Dia berhasil menghindari semua lemparanku hingga tidak ada lagi benda yang bisa aku lemparkan ke arahnya.
Saat itu, saat aku tak bisa menghindar lagi, dia segera menangkapku dan kembali menghempaskan tubuhku ke atas kasur. Lalu, dia, dengan cepat, mengikat kedua tanganku ke tiang kepala kasur tempat tidurku sehingga aku tidak bisa bergerak sebab simpul ikatannya sangatlah kencang meskipun dia menggunakan syal kuning milikku. Jadi, jika aku mencoba memaksa melepaskan ikatan ini, justru akan menyakiti pergelangan tanganku. Namun, sakit di pergelangan tanganku tidaklah sesakit hatiku. Hatiku lebih sakit karna aku tak bisa menyelamatkan diriku. Apalagi, satu-satunya harapanku untuk bisa lepas tidak bisa aku lakukan sebab dia sudah menutup bibirku dengan solasiban hitam sehingga aku tak bisa berteriak minta tolong kala dia menyentuh tubuhku seperti mainan.
Aku menangis memohon kepadanya agar dia berhenti. Akan tetapi, dia tidak mau. Dia justru tertawa senang saat memainkan tubuhku. Melihat tindakannya itu, aku tak bisa berbuat apa pun. Aku dipaksa untuk pasrah. Pasrah kala pakaianku telah dia lepas semuanya. Pasrah diperlakukan seperti hewan olehnya. Pasrah harta yang paling berhargaku telah diregut olehnya. Duniaku hancur dalam sekejap. Dia telah menghancurkanku. Namun, kenapa dia tidak membunuhku? Sehingga aku tidak perlu merasakan luka ini. Luka yang tak akan pernah bisa disembuhkan oleh siapa pun. Seharusnya, dia membunuhku setelah puas memainkan tubuhku agar aku tak perlu melihat senyum iblisnya itu. Aku tak ada gunanya lagi hidup. Ayo, cepat bunuh aku. Aku tak ada alasan lagi hidup di dunia ini. Cepat lakukan itu. Bukankah itu tujuanmu? Cepat tempelkan sapu tangan putih itu ke hidungku. Aku mau mati. Namun, apa yang kuharapkan tidak terjadi. Dia tidak mau membunuhku. Dia hanya membiusku hingga kesadaranku menghilang.
           ***
           Aku segera menatap dan memperhatikan wajahnya setelah aku selesai menceritakan semuanya itu. Saat itu, dia tampak sedang berpikir. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dia sedang mencerna semua ceritaku. Apakah ceritaku itu benar atau tidak? Jujur, aku berharap sekali bahwa dia telah percaya kepadaku dan segera melakukan penyelidikan. Aku ingin pelaku segera tertangkap.
           “Baik. Kami akan segera melakukan penyelidikan dan menangkap pelaku secepat mungkin!” ucapnya yang berhasil membuatku sedikit tenang dan berhasil membuatku berharap penuh kepada polisi bahwa penyelidikan ini pasti berhasil.
           “Terima kasih. Aku sangat berharap besar kepada Anda dan juga kepada pihak kepolisian. Kalian harus bisa menemukan pelaku pemerkosaku!” ucapku serius dan penuh harapan. Lalu, dia pun mengangguk tanpa berkata apa pun kala aku mengulurkan tanganku untuk berjabat tangan denganya. Lantas, sikapnya itu sedikit membuatku khawatir. Apakah dia akan menyelidiki kasusku? Atau memang seperti itu sikap para pihak kepolisian? Jikalau memang, aku tak bisa berharap lebih, selain menaruh kepercayaan kepada instansi kepolisian. Setelah itu, aku pun pamit dan segera melangkah keluar dari ruangan tersebut, keluar dari kantor polisi tersebut. Setibanya di halaman, aku segera menatap langit biru yang cerah. Aku berdoa kepada Tuhan agar Tuhan membantu para polisi menangkap pelaku pemerkosaku.

#baca di lentera.app atau www.lentera.com

com

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
#1 PITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang