BAB 5 BALI

30.8K 1.5K 49
                                    

Satu minggu telah berlalu. Pelaku telah divonis hukuman penjara lima belas tahun karna telah melakukan kejahatan pemerkosaan yang sudah direncanakan dan juga menguntit korban selama satu bulan dalam menjalankan aksinya. Meskipun begitu, aku tidak merasa aman. Aku masih merasakan bahwa pelaku sebenarnya masih berkeliaran di luar sana. Namun, aku juga tidak bisa seperti ini. Aku harus memulai hari yang baru. Menjalani hidupku seperti biasanya walaupun mimpir buruk itu belum hilang.

Aku masih dihantui. Aku seperti dipantau dan masih takut. Meskipun aku sudah menjalani hidup normalku. Akan tetapi, aku tidak bisa tidak waspada pada laki-laki yang mencoba mendekatiku. Kejadian itu telah membuatku parno. Aku menganggap mereka adalah pelaku pemerkosaku. Parahnya, aku tidak bisa mengelak jika mereka merasa tidak nyaman didekatku. Pada akhirnya, aku harus meminta maaf kepada mereka. Itu sangat melelahkan bagiku.

Seperti saat ini, aku tidak sengaja menjaga jarak jika sudah bekerja sama dengan timku bernama Edo. Sebenarnya, dia baik dan ramah, tetapi itu tidak menjadi jaminan untukku bersikap lengah kepada kaum adam.

"Ini laporan terbarunya, Pita."

"Terima kasih, Edo. Rapat kita mulai," ucapku membuka rapat. Saat ini, aku sebagai ketua untuk iklan terbaru. Karna itu, aku harus memberi hasil terbaik. Aku menjelaskan beberapa point yang harus dilakukan dalam pembuatan iklan untuk produk lama. Aku menjelaskan itu semua dengan seksama.

"Seperti yang kita ketahui, masyarakat butuh sesuatu yang menarik dan berkesan. Agar produk ini laku, kita akan membuat tantangan. Jadi, kita akan membuat iklan berseri."

"Maksudnya seperti ini."

"Jangan sentuh aku!" teriakku tanpa sadar. Semua mata menatapku di ruang rapat ini. Sial. Aku berteriak ketika Edo tak sengaja menyentuhku untuk mencontohkan ideku di depan semua orang.

"Maaf. Saya tidak enak badan. Edo, kamu yang ambil alih."

Aku keluar dari ruang rapat. Aku kembali membuat mereka tidak nyaman. Tentunya, gosip itu menjadi benar. Atau mungkin, mereka menganggap aku aneh dan aku harus menjauh untuk sementara.

Aku pergi sejauh mungkin dari ruang rapat. Aku harus mencari tempat yang hanya untuk diriku saja. Tempat seperti itu adalah atap kantor. Tidak ada orang yang akan menghampiriku.

Dan di sinilah, aku saat ini. Aku berdiri di atas atap gedung kantor sembari menatap langit Jakarta. Aku sedikit merasa tenang dan melupakan sedikit masalahku untuk sejenak. Dan aku harap, aku bisa melupakan itu semua untuk ke depannya. Aku tidak ingin terus seperti ini, merasa tidak nyaman sebelum pelaku sebenarnya terungkap. Jika tidak, mungkin, aku akan terus seperti ini, bersikap aneh, membuat karyawan lainnya merasa tidak nyaman denganku.

Aku merentangkan kedua tanganku. Kurasakan angin menjalar di tubuhku. Aku terbuai dengan hembusan angin. Hembusan ini cukup membuatku nyaman. Dan sepertinya, aku akan lama di sini menyendiri sampai mendapat panggilan teguran dari Pak Bimo akan sikapku di ruang rapat.

Ting, ting, ting.

Baru saja, aku mengatakan itu. Aku sudah mendapat panggilan dari Pak Bimo. Panjang umur dia.

"Halo, Pak."

"Di atap kantor, Pak."

"Baik, Pak. Saya akan segera ke sana."

Pak Bimo menyuruhku untuk segera menemuinya di ruangannya. Aku harus menyiapkan hati dan telingaku. Aku pantas mendapat teguran ini. Semoga saja, aku tidak dipecat. Kalau gaji dipotong, tidak masalah.

#1 PITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang