BAB 20CEMBURU

1.4K 72 0
                                    

"Sepertinya, kamu memiliki hubungan dekat dengan dokter Marta?" tanyaku sesampainya kami berdua di dalam mobil.

"Kamu cemburu?"

Aku langsung menoleh ke arahnya. Sejak kapan?

"Pede amat jadi orang. Aku cuma nanya?" jawabku ketus.

"Nanya atau penasaran?" balas Bara membuat aku kesal kepadanya. Bisa gak sih? Bara tidak bersikap seperti ini. Saat aku bertanya.

"Nanya, Bara....?" Teriakku kesal.

"Oh... aku kira penasaran." Balasnya membuat aku semakin kesal kepadanya.

"Jawab aja kenapa?" desakku.

"Kalo aku gak mau?"

Aku diam. Kalo, Bara tidak mau menjelaskannya. Apa aku harus memaksanya.

"Ya, udah kalo gak mau. Gak adil aja buat aku. Kamu tahu tentang aku. Masa aku tidak tahu tentang kamu." Jawabku cemberut.

"Berarti, secara tidak langsung. Kamu mengakui kamu cemburu kan?" godanya.

Aku menatapnya tidak senang. Cemburu.. tidak Bara. Aku tidak cemburu. Aku hanya penasaran saja.

"Tidak. Aku hanya pengen tahu aja. Sikapmu begitu ramah dengan dokter Marta. Apa aku tidak boleh tahu?" jawabku terus terang. Aku mengutuk diriku sendiri setelah mengatakan itu.

Bara tersenyum kemenangan melihat aku, kikuk di depannya. Aku terus terang kepadanya.

"Benar kata, Marta. Kamu selama ini menutupi, apa yang kamu rasakan."

"Jangan alihkan pembicaraan kita. Jawab aja."

"Ok. Aku jawab. Toh, aku sudah dapat melihat dan mengerti tentang sikapmu kepadaku."

Aku menatapnya, bingung. Aku tidak tahu, apa maksud perkataannya.

"Marta, itu sahabat aku. Kami berdua sudah berteman sejak kecil. Kami berdua tidak memiliki hubungan seperti yang kamu pikirkan, Pita. Hati ini hanya untukmu."

Jelasnya, membuat pipiku merona. Hati ini hanya untukmu. Oh, Tuhan. Kenapa di saat seperti ini. Hatiku kembali deg deggan. Tatapan itu menghipnotis aku. Please, Bara berhenti menatap aku seperti ini.

"Kamu baik-baik saja, Pita." tanyanya menyentuh keningku. "Tidak panas. Tapi, wajahmu memerah seperti tomat." Jelasnya membuat aku segera menyentuh wajahku. Oh tidak, wajahku memerah. Apa ini pertanda.

"Aku baik-baik saja" jelasku menjauhkan tangannya dari wajahku. Aku tidak ingin Bara tahu. Wajahku, memerah karna aku merona karna dia. Karna ucapannya. Beruntung, Bara berpikir aku sedang sakit.

"Kamu yakin?"

Aku mengangguk, setelah itu. Bara tidak memperhatikanku kembali. Bara beralih ke ponselnya. Mengetik pesan kepada seseorang yang tidak, aku tahu kepada siapa. Yang jelas, aku merasakan tidak suka. Melihat Bara tersenyum kepada orang lain. Selain diriku. Katakan, aku egois. Tapi, itulah yang aku rasakan. Aku cemburu melihat senyum itu terukir bukan karna aku. Senyum itu, terukir karna orang lain. Marta, sahabatnya sejak kecil.

Dan, apa yang aku takutkan selama ini. Muncul ke permukaan. Aku mengingat perkataan, Mira dan Marta kepadaku.

"Aku akui. Tindakan Bara memperkosa kamu malam itu, telah menutup hati kecilmu. Sekarang yang ada dalam dirimu adalah benci dan dendam pada Bara. Kamu akan menyesal suatu saat nanti, Pita."

"Pita, aku ini dokter psikiater. Aku tahu, apa yang sedang kamu tutupi. Jangan menyangkal, apa yang kamu rasakan. Sebelum, kamu menyesal di kemudian hari."

Kemungkinan, aku tidak dapat lari dari masalah itu. Aku juga tidak tahu, kapan penyesalanku muncul. Tapi, yang jelas. Semakin aku mulai menyadari perasaanku. Semakin aku merasakan, bahwa Bara akan menjauh dariku. Aku tidak dapat menganggapainya. Walau, aku ingin sekali berada di dekatnya.

Aku tidak tahu kenapa. Tapi, firasatku mengatakan hal itu.

Kami sampai di perkarangan mansion Bara. Kami berdua keluar dari dalam mobil. Ku tatap punggung Bara berjalan lebih dulu ke dalam mansion. Ingin sekali, aku memeluk punggung itu sebelum apa yang aku takutkan terjadi. Kali ini, aku melawan rasa egoku. Kali ini, aku mendengar kata hatiku.

Aku tidak akan mendengar kata iblis dalam diriku. Aku seharusnya mendengar suara malaikat dalam hatiku. Suara hatiku.

Aku ingin Bara. Aku ingin memeluknya, merasakan kehangatan tubuhnya yang selama ini aku sangkal karna rasa benci dan amarahku padanya. Aku rindu wangi tubuhnya, wangi parfum kayu kulit manis. Aroma yang tidak akan pernah aku lupakan. Saat, malam itu, Bara memperkosaku. Katakan, aku gadis munafik. Jika, aku menyukai aroma itu. Dulu, aku trauma setiap mencium aroma itu. Tapi, sekarang aroma itu bagaikan candu untukku. Candu yang selalu mengingatku, Bara yang memperkosaku. Dia adalah laki-laki yang merebut keperawananku.

Aku berlari ke arah Bara. Mengejar langkahnya yang semakin menjauh dari posisiku. Aku memeluknya dari belakang. Dapat aku rasakan, tubuh Bara tegang. Diam membiarkan aku memeluknya dan menghirup aroma tubuhnya. Kulit kayu manis. Aku suka. Aroma farfum Bara.

"Pita."

"Biarkan, aku seperti ini. Memelukmu dari belakang." Pintaku kepada Bara.

Aku memeluknya, ingin mengatakan aku merindukannya, aku menginginkannya. Tapi, bibir ini membisu.

Kurasakan pergerakan tangan Bara menyentuh tanganku, lalu tubuh Bara berubah posisi. Kini, Bara dan aku saling hadap-hadapan di depan mansion. Bara menatapku dengan tatapan teduh dan senyum manis yang terukir di wajah tampannya.

Aku masih dalam posisi memeluknya dan mendongak wajahku menatap ke arah wajahnya. Bara mengenggam kedua pipiku. Lalu, mencium keningku. Aku memejamkan mataku saat Bara melakukan itu. Aku ingin merasakan setiap moment indah. Bersama Bara.

"Kapan pun kamu memelukku, aku selalu ada Pita."

Ucapnya, aku pun mempererat pelukanku dan bersandar di dada bidang Bara. Bara membalas pelukanku dan mencium puncak kepalaku.

Aku bahagia. Hatiku tenang. Tapi, hatiku juga merasa sakit. Sakit yang menjadi pertanda buruk. Semoga apa yang aku takutkan tidak terjadi. Aku harap, aku ada kebahagian bersama Bara.

#1 PITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang