BAB 15MERENUNG

1.7K 83 0
                                    

Aku berdiri di dekat jendela kamar inapku yang berada di lantai 5. Aku berada di rumah sakit ternama dan terbaik di Jakarta. Bagaimana aku tahu. Dari seragam pasien rumah sakit yang aku pakai saat ini. Yang berlogo "Rumah Sakit Pondok Puri Indah" yang bertaraf internasional.

Aku menatap menerawang ke arah jendela. Menatap hamparan gedung Jakarta dan jalanan kota Jakarta yang selalu padat. Kapan kota Jakarta sepi.... Aku menghembuskan nafas dengan panjang. Berkali-kali, aku melakukan itu. Menenangkan diriku yang saat ini, sedang sendiri. Tidak ingin di temani oleh siapapun. Aku tidak ingin dijumpai oleh siapa pun. Termasuk, Mia yang sejak tadi memohon untuk menemaniku. Setelah aku, mengusir Bara keluar dari kamar inapku. Katanya, dia khawatir padaku. Tapi, aku tidak percaya. Mia pasti disuruh oleh Bara untuk menemaniku. Memastikan aku tidak melakukan hal nekat. Setelah aku tahu yang sebenarnya.

Untungnya, keadaanku sudah membaik. Selang infus tak menempel lagi di pergelangan tangan kananku. Dokter Sinta dan suster telah melepas infus di tanganku beberapa menit yang lalu. Setelah, aku mengusir Mia yang memohon kepadaku.

Apa Mia tidak bisa melihat penderitaanku. Kenapa hanya Bara yang selalu dia bela. Apa karna Bara tuan yang harus dilayani dan dipatuhi. Bahkan, aku membenci Mia karna hal itu. Aku tidak bisa percaya lagi pada Mia. Apa pun yang telah dia katakan selama ini adalah kebohongan. Kebohongan, agar aku percaya dan merasa bersalah telah bersikap dingin, diam, dan kasar pada Bara

Dihadapan mereka, aku menunjukkan diriku yang begitu marah pada Mia yang selalu membela Bara. Meski, mereka tahu, Bara lah yang membayar biaya rumah sakitku. Aku tidak peduli, jika salah satu dari mereka mengatakan, diriku "tidak tahu diri". Aku hanya ingin menunjukkan, bahwa aku tidak takut pada Bara, melainkan membencinya.

Setelah Mia pergi dari kamar inapku, barulah dokter Sinta memeriksaku. Setelah selesai, aku segera menyuruh mereka cepat pergi dari kamarku. Aku tidak tahan mendengar rasa ingin tahu mereka terhadap masalahku.

Lalu, aku berjalan ke arah jendela, berdiri menatap hamparan kota Jakarta dan memikirkan semua yang telah terjadi padaku. Aku akui, taktik mereka berhasil. Mereka mampu membuat aku percaya untuk sesaat. Dan aku mengutuk diriku sendiri. Karna dengan mudahnya mempercayai perkataan Mia dan Bara. Seharusnya, aku sadar betul. Seorang Bara, sosok iblis yang bersembunyi dibalik topeng baiknya. Tak akan mudah berubah menjadi sosok yang benar-benar peduli padaku. Itu semua hanya kamuflase. Bahkan, Bara mampu mengajak Tito, seorang polisi dengan pangkat tinggi bekerja sama dengan dirinya. Untuk menipu diriku. Menipuku dengan sikap dan ucapannya.

Aku mengingat kembali. Semua perkataan Bara yang telah dia ucapkan padaku. Kata-kata yang membuat diriku sosok orang bodoh di hadapannya.

"Aku Mencintaimu"

"Kamu tahu, Pita. Kamu itu, ibarat bunga mawar. Indah dan harum. Tapi, harus hati-hati karna ada duri yang siap memberi luka. Seperti jariku, terluka untuk memetik setangkai bunga mawar untukmu. Untuk memilikimu maka aku juga harus terluka dulu untuk mendapatkanmu. Seperti yang kamu lakukan barusan. Menolak aku dan menghancurkan bunga mawar pemberianku. Hatiku sakit sampai aku meneteskan air mata. Ku mohon maafkan aku, Pita"

"Sampai kapan kamu seperti ini kepadaku, Pita?"

"Biar aku saja yang mengambilnya untukmu"

"Aku senang melihatmu tersenyum, cantik"

"Meski kaum diam tidak mau menjawabku. Aku sudah cukup senang melihat wajah bahagiamu saat ini, dihadapanku"

"Dan aku juga akan menghukum pelayan yang tidak memberimu makan. Padahal, semalam setelah keluar kamarmu. Aku memerintahkan mereka mengantarkan makanan padamu. Hingga kamu tidak akan kelaparan jam segini"

#1 PITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang