Terkejut bukan main. Semua pertanyaan berawalan 'lah kok?' seketika mendorong gue untuk membantah dialog Alam. Tidak mungkin, kalimat yang sedikit menenangkan rasa kejut gue. Namun, tetap tidak ada satu pun kata yang berani unjuk diri setelah mendengar interlokusi dari sisi Alam.
Terdiam. Bukan menunggu kalimat penjelasan Alam yang lain. Tapi memang benar benar terkejut sampai akhirnya air mata mulai menggenangi area pelupuk mata. Tidak tahu juga alasan menangis itu apa.
Alam menceritakan semuanya pada gue. Bahwa dia mendapatkan hukuman saat kalah dalam permainan yang ia dan teman temannya buat. Bermain billiard dengan taruhan, kemudian kalah. Begitu intinya.
Lega tiba tiba terdengar sangat buruk. Sepertinya itu adalah definisi yang salah jika benar benar berkata bahwa gue lega saat itu. Tapi gue lupa bagaimana Ratu. Gue hanya mengambil satu opini yang terungkap dari Alam. Dan saat ini, gue tidak benar benar berpikir untuk merasa malam itu adalah best part.
"Selama ini lo bisa bertahan pacaran sama cewek yang menurut lo ga lo cinta itu berarti atas dasar apa lagi kalo bukan karena perasaan?" Gue membantah Alam yang berkata kalau ia tidak memiliki perasaan apapun terhadap Ratu.
"Taruhannya gue jadian sama Ratu selama sma, Shen." Jawab Alam. "Bukan masalah taruhannya, Lam. Kalo cinta emang bener ga bisa dipaksain, kenapa bisa bertahan selama tiga tahun?"
"Kenapa taruhan bukan masalahnya? Itu sumber masalahnya, Shen." Saat Alam baru akan kembali bersuara, gue memotong pembicaraannya, "Lo ga punya alesan kan buat jawab pertanyaan gue?"
"Kenapa ga punya? Alesannya ada di otak lo sendiri, Shen. Dari awal gue nannya nama lo waktu mos, sampe belain lo setiap kali lo kena masalah. Apa lo ga pernah mikir kenapa gue ngelakuin itu ke lo?"
"Lo selalu bikin gue repot dengan cari masalah ini itu. Di tampar senior, di cekik orang, di kunciin di kamar mandi, di pukul guru. Gue ga mau terus terusan ngebela lo, Shen, gue tahu gue bukan siapa siapa lo. Tapi lo ga bisa bela diri. Dan gue gamau lo kenapa napa, Shen."
"Shen gue juga kayak cowo bodoh pada umumnya. Gue ga tau mana yang bener mana yang salah. Selama ini gue cuma mencoba untuk ga bikin Ratu sakit hati dengan terus mengulur waktu. Dan selama itu gue cuma bisa menghargai Ratu. Bukan mencintai Ratu."
Malam itu gue melihat kedua mata Alam yang memerah. Matanya berkaca kaca. Menahan emosi dalam dirinya. Mungkin jika gue samsak, sudah sejak detik pertama dia menghajar gue dengan serangan bertubi tubi.
Alam membuang pandangannya ke arah lain. Namun masih terlihat sangat jelas bahwa ada setetes air mata yang keluar dari kedua matanya.
"Kalo menurut lo dia ga pantes bikin lo bahagia, gue lebih ga pantes buat ada di sisi lo Lam." Gue memutar balikkan tubuh. Menghindari rasa sakit yang tiba tiba menikam jantung.
"Gue bisa jaga diri gue sendiri. Seharusnya lo sadar sama sikap gue yang sama sekali ga peduli sama lo. Seharusnya lo ga perlu bertanggung jawab atas apa yang terjadi sama diri gue. Karna hidup gue bukan lo yang jalanin."
Gue pergi meninggalkan Alam. Berlari sejauh mungkin agar isakan tangis gue tidak terdengar olehnya.
Bahkan saat gue tahu Alam tidak pernah mempunyai rasa pada Ratu, gue tetap merasa kalah. Ratu sangat pandai dalam mendidik peliharaannya. Ia berhasil karena telah membuat gue terus membela dia. Mungkin inilah hasil yang diinginkan Ratu. Membuat gue seperti peliharaannya yang penurut.
Dan membuat gue terbiasa untuk tidak mendapatkan orang yang gue suka.