Seminggu setelah pengumuman SBMPTN, keluarga gue mengadakan acara makan malam dengan mengajak keluarga Ratu. Tujuannya selain karena keluarga gue yang sudah jarang bersilaturahmi dengan keluarga Ratu, namun juga untuk merayakan keberhasilan Ratu masuk jurusan perkuliahan yang dia inginkan.
Malam itu juga malam pertama bagi gue untuk kembali dipertemukan dengan Ratu. Dan gue sama sekali tidak melihat kebahagiaan di wajahnya.
Hampir setengah jam gue dan Ratu menghabiskan waktu di meja makan tanpa berbicara dengan topik informal. Jadi semua perbincangan di meja makan itu terisi dengan keberhasilan Ratu yang mendapatkan SBMPTN di UNDIP. Oh, ⅛ tentang gue yang lulus SNMPTN di UGM.
Setelah lewat dari setengah jam, Ratu izin ke kamar mandi. Dan gue mengikutinya. Menunggunya keluar dari kamar mandi dan mengajaknya ke kamar gue.
Ia langsung masuk dan berdiri di dalam kamar gue. Menunggu gue menyusulnya dari belakang.
Benar dugaan gue. Malam itu Ratu sangat berbeda. Dia sama sekali tidak memberi arahan kemana gue akan memulai pembicaraan dengannya.
"Lo gimana?" Satu satunya kalimat yang timbul di otak gue setelah percecokan dengan diri sendiri yang nyaris memakan banyak waktu.
"Apanya?"
"Sama Alam." Saat itu, gue sangat berharap Ratu tidak akan menangis. Atau marah.
Dan harapan gue terkabul. Sedikit.
"Gue yakin lo udah tau dari Alam." Jawab Ratu dingin. Dan kalimat itu sedikit menusuk gue. Mungkin bukan karena kalimatnya. Tapi mungkin karena sifat Ratu yang membuat gue merasa seperti orang asing untuk dia.
"Gue ga nerima dia." Niat awal gue adalah untuk membuat Ratu merasa lega namun tiba tiba ia berdiri dengan tegap, menyentakkan kakinya membuat gue sedikit terkejut.
"Kenapa? Kenapa cewek murahan kayak lo ga nerima dia? Kapan lagi cinta lo ga bertepuk sebelah tangan? Kapan lagi lo bisa nyobain cowok bekas gue?!" Teriak Ratu tepat di depan wajah gue. Air mata gue seakan tumpah ruah setiap kali mencoba untuk membalas perkataannya.
Tidak terucap. Kalimat maaf gue tidak terucap. Gue terlalu najis berada di hadapan Ratu.
"Bangsat lo! Gue benci sama lo, Shena!" Ratu berteriak sembari menangis, ia berlari keluar kamar gue dan meninggalkan perjamuan yang belum usai di ruang makan.
Gue ga pernah melihat sifat itu dari diri Ratu selama 12 tahun. Ini yang membuat gue berpikir bahwa ternyata 12 tahun belum tentu membuat gue mengenalnya. Gue sangat merasa asing dengan Ratu malam itu.
Beberapa hari kemudian, Rina Batiu a.k.a mamah kandung Ratu datang berkunjung. Menyatakan seluruh opininya yang sangat jelas adalah penekanan untuk anak kandung Alina, yaitu gue. Untuk tidak ikut campur ataupun merusak hubungan anaknya dengan laki laki pujaan anaknya.
"Saya tidak ingin ada perselisihan di antara anak saya, dan anak anda. Jadi saya mohon anak anda untuk setidaknya tidak ikut campur dengan urusan anak saya dengan pacarnya, Alam dan demi kebaikan anak saya, dan juga anak anda."
Alina datang menemui gue di kamar. Menanyakan satu hal yang langsung menjurus ke inti. "Tapi kamu suka ga sama cowok itu?"
Gue membuang napas berat. Menggeleng perhalan dan menjawab, "engga."
"Yaudah kalo gitu biarin. Ratu kayaknya bisa jadi warga rumah sakit jiwa kalo kehilangan cowok itu."
Mamah pasti mencoba menghibur gue. Alasannya, karena dia tahu gue suka dengan Alam.