Gue memutar balikkan tubuh gue, menemukan Alena yang tengah berjalan menuju gue dengan bola basket yang sebelumnya gue lempar asal.
"Siapa yang jablay, gatau diri?" Tanya Alena sambil melempar bola basket yang ia pegang kepada gue. "Lo. Lo brengsek. Jablay, gatau diri." Alena kaget. Bukan karena jawaban asal asalan dari mulut gue. Tapi dia baru sadar kalau gue menangis. Perihal cacian gue terhadapnya, sudah lumrah di telinganya.
"Astaga Shena," Alena berlari ke arah gue kemudian memeluk gue. Membuat tangisan gue malah semakin meluap - luap bersamaan dengan emosi.
"Fera nyebelin, Alena. Gue ga suka sama dia!" Kata gue dengan suara tidak jelas akibat bindeng. Alena terus mengusap punggung gue sampai tangisan gue mereda. "Pulang dulu ya, Shen? Udah pukul sepuluh malam. Tadi, gue kira lo hilang." Alena membantu gue berdiri.
"Lo sama Hanu?" Kemudian Alena mengangguk. Membuat gue sebenarnya sedikit kecewa dan sedih. "Gibran?" Tanya gue, mungkin sebenarnya bukan dia yang hati gue tanyakan. Tapi otak gue lebih masuk akal daripada hati gue. Ga mungkin kan yang gue sebut adalah nama laki laki lain padahal pacar gue Gibran?
p.s : Hanu adalah senior yang dekat dengan Alena sejak hari pertama ospek, pacar Alena.
"Beberapa kali Gibran gue hubungin ga bisa. Kata Hanu, semua ketua bem fakultas lagi rapat jadi mungkin Gibran ga bisa check handphonenya." Jawab Alena dengan jujur. Gue diam tidak merespon hingga Alena memasang raut ibanya pada gue, "lo kecewa ya sama jawaban gue?"
Gue hanya menggeleng pelan lalu menjawab "ngga." Alena memimpin jalan menuju pintu keluar dari ruang olahraga. "Jadinya, lo sama.." Belum selesai Alena berbicara, gue telah melihat Hanu yang sedang mengobrol dengan Alam di luar aula.
Matanya menatap gue dalam. Entah raut wajah apa yang ia tunjukkan pada gue. Gue enggan mengartikannya. "Gue gamau sama Alam." Kata gue dengan yakin pada Alena. Entah Hanu dan Alam dengar atau tidak, gue tidak perduli.
"Tapi Hanu bawa motor. Cuma bisa bonceng satu orang." Jawab Alena. "Gue naik angkutan umum aja. Makasih udah nyariin gue. Maaf nyusahin." Gue jalan melewati Hanu dan Alam. Memasang wajah datar saat Alam memutar kepalanya demi melihat gue setelah gue melewatinya.
"Shena!" Alena berteriak dari jauh. Tapi gue sama sekali tidak berniat untuk memutar balikkan tubuh. Hingga gue mendengar suara langkah kaki yang terdengar cepat, dan gue berasumsi Alena sedang berlari menuju gue.
"Jangan naik angkutan umum." Ternyata yang berlari mengejar gue bukan Alena. "Bahaya." Lanjutnya. Gue hanya menatap Alam dengan tatapan jijik, kemudian kembali berjalan tidak perduli.
Yang benar, jangan ikut sama Alam. Lebih bahaya.
"Shen, udah malam, jangan cari masalah." Alam kembali bersuara. Membuat gue benar - benar ingin muntah. Gue begitu jijik dengan dia.
Di beberapa meter, Alena menaiki motor Hanu, "ayo cepet pergi." Katanya pada Hanu. "Loh, mereka?" Hanu bingung, tidak mengerti dengan tujuan Alena. Karena jelas di sana bahwa Alam sedang tidak berdamai dengan Shena.
"Alam pasti tau caranya. Shena bakal baik - baik aja. Udah ayo cepetan!"
Gue berhenti di tepi jalan, berniat untuk menyebrangi jalan, tapi tertahan oleh tangan Alam yang memegang lengan kiri gue dengan sangat kasar.
"Lepas!" Gue memberontak, namun tenaga gue benar - benar jauh untuk sebanding dengan Alam. "Lepasin gue, Lam." Gue tetap memberontak hingga air mata gue jatuh dari pelupuknya.
Alam terkejut saat melihat gue menangis. Tanpa melepas cengkraman tangannya di lengan gue, ia membawa gue ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkan gue yang memberontak, mencoba untuk lepas dari pelukannya.
Gue memukul tubuh Alam berkali - kali dengan tangan kanan gue yang terbebas. Menangis lebih kencang dari sebelumnya, atau dari yang di lapangan itu.
"Lo kasar, Lam." Kata gue yang setelah itu tidak lagi memukulinya. "Lo brengsek!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Breach
Подростковая литература"You're the real one queen." Alam Penjajah Samudera