Ilusi rasa. Pasti ilusi rasa. Tidak mungkin melihat Alam berciuman dengan Fera dapat membuat gue semarah ini. Sedangkan melihat Gibran memeluk teman wanitanya tidak membuat gue marah selebay ini.
Kini gue mencoba mencari celah. Cemburu pada teman lama bukan hal yang salah, kan? Oke, mulai sekarang gue akan menganggap Alam sebagai teman lama.
"Lepasin gue, jangan pegang pegang gue! Gue jijik sama lo." Gue menangis dalam pelukan Alam. Sepertinya Alam telah mengukuhkan pikirannya untuk tidak perduli dengan cacian yang keluar dari mulut gue.
"Kemarin itu salah." Katanya yang masih terus membekap gue dalam pelukannya. "Gausah ngomong! Suara lo bikin gue makin benci sama lo!" Gue mendorong tubuh Alam dan hanya menimbulkan sedikit reaksi pergerakan pada tubuh gue dan Alam.
"Tapi yang kemarin itu salah. Yang kemarin lo liat itu ga ada." Dia benar benar tidak perduli pada omongan gue, ya, kan?
"Gue ga peduli sama yang kemarin. Gue ga peduli sama yang tahun lalu, gue ga peduli sama lo." Bohong. Gue sangat perduli. Hati gue perduli. Jangan cium cewek sembarangan, Lam. Gue ga suka.
Alam memeluk gue semakin dalam, seperti sedang memohon ampun sekaligus memberi penjelasan tanpa lisan.
"Alam lepas!" Teriak gue yang akhirnya, ia lakukan. "Gue ga mau Gibran salah paham sama ini. Gue gamau bikin dia kecewa. Gue juga gamau Fera salah paham. Gue gamau ganggu hubungan kalian." Gue membuang tatapan pada jalanan yang sudah tidak ramai kendaraan, "jangan pulang sendiri." Katanya pelan. "Gue gamau pulang sama lo." Bantah gue sebelum ia meminta gue untuk pulang dengannya.
"Telepon Gibran. Suruh dia jemput lo." Kini nada bicara Alam seperti sedang memerintah gue. Gue hanya menyeberangi jalanan tanpa peduli dengan kalimatnya yang barusan. Dan sudah tidak lagi menemukan Alam di tempat sebelumnya.
Gue berdiri di bawah pohon rindang. Beberapa angkutan umum dengan sopir dan kernetnya berlalu lalang sambil mengeluarkan kalimat kalimat rayuan pada gue. Gue melihat jam di handphone. 23.16. Gue takut untuk menelpon Gibran. Pasti ia akan sangat khawatir jika tahu gue sedang sendirian di pinggir jalan, dan hampir tengah malam.
Gue mencari kontak Alena, kemudian menelponnya.
"Halo Len? Gue takut. Gue sendirian. Gue harus pulang naik apa?" Gue langsung bersuara ketika telepon tersambung. Tidak ada suara apa apa dari ponsel gue. "Halo? Alam udah pergi. Gue takut buat nelpon Gibran."
"Pulang sama gue." Katanya singkat lalu mematikan sambungan telepon. Beberapa detik kemudian, Alam muncul di hadapan gue dengan pespa oranye miliknya. Mata gue terbelalak. Gue kembali membuka ponsel dan mengecek nomor yang tadi gue telepon.
Sial. Gue menelepon Alam, bukan Alena.
Gue diam hingga Alam membuka suara, "ayo pulang." Dan pada akhirnya, malam itu, gue pulang dengan Alam.
"Gue salah pencet nomor telepon. Tadinya gue mau telepon Alena. But however, thanks." Itu yang gue ucapkan setelah turun dari pespa Alam. Tidak yang lain. Gue tidak lupa. Benar benar hanya itu.
Saat itu, akhirnya gue tahu. Bahwa,
Dasarnya benci adalah cinta.
Dasarnya cinta dan benci adalah rasa.
Dan rasa tidak tumbuh hanya dari sebuah pikiran.