part 18

20 7 0
                                    

Alam berhasil membawa gue ke rumah sakit dengan mobil seseorang yang sebenarnya tidak dia kenal. Menunggu jalannya operasi yang gue lakukan dengan perasaan kacau balau.

Setelah operasi yang gue jalani selesai, Alam menelpon Alena dan memberi tahu kabar mengenai gue sebelum akhirnya dia pergi dari rumah sakit kembali ke kampus.

*
Alam memarkirkan motornya di depan ruang musik. Menjawab pesan singkat dari Fera yang menannyakan keberadaannya, "Di ruang musik." Balas Alam. Setelah itu Fera langsung menelponnya,

"Kamu di mana?"
"Di ruang musik."
"Hah? Di mana?"
"Di ruang musik, kenapa?"
"Oh, gapapa." Jawabnya dengan terburu buru. "Kamu ngapain di sana?"
"Kenapa?"
"Gapapa aku cuma nannya."

Alam mematikan teleponnya, turun dari pespa kemudian seseorang menabrak Alam setelah terlihat berlari dari dalam ruang musik. Seseorang berbaju hitam dan masker hitam, keluar dari ruang musik dengan tangan yang berlumuran darah.

Tidak begitu perduli, Alam hanya meneruskan tujuannya ke ruang musik untuk mengambil gitar yang pada hari sebelumnya ia tinggal di sana.

Alam masuk hanya dengan satu niat, namun pikirannya entah kemana sejak ia mendengar suara isak tangis seseorang. Ia teringat pada keadaan seseorang berbaju hitam yang tadi menabraknya.

Hingga Alam menemukan sumber suara tangis itu. Seketika, dia hilang tujuan. Menatap seseorang yang terlihat sangat lemah dengan darah di tubuhnya, membuat kakinya bergemetar.

Mengapa harus dia? Sekian banyak wanita, mengapa harus Shena yang terluka?

Dengan sisa tenaga, Alam membawa Shena keluar dari ruang musik. Kakinya terus bergemetar, melawan rasa takut yang membuncah hatinya. Suaranya sumbang, bertanya sambil menahan tangis sekaligus.
*

Alam masuk ke dalam fakultas psikologi, mencari Fera sembari mencoba untuk menghubungi nomornya. Hingga ia menemukan nada ponselnya di gedung belakang fakultas psikologi.

Fera, dengan seseorang berbaju hitam, berdialog satu sama lain sambil salah satunya memberikan beberapa lembar seratus ribu kepada lawan bicaranya.

"Halo?" Jawab Fera melalui telepon, "Itu uang apa, Ra?" Tanya Alam sambil menghampiri Fera. Wajah Fera panik, "Ini uang.... Bukan kayak yang kamu pikirin, Lam." Belum selesai Fera berbicara, Alam langsung memotongnya, "emang gua mikirin apaan?"

Fera diam tidak menjawab hingga akhirnya Alam maju selangkah ke arah laki laki berbaju hitam kemudian meninju wajah laki laki tersebut.

"Bangsat!" Teriaknya sembari melayangkan pukulan yang ke dua kalinya kepada laki laki tersebut. "Alam!" Fera menengahi, "Lo, Ra, Lo pikir nyawa itu mainan?! Nyawa orang tolol kayak lo ga sebanding sama nyawa dia, Ra!" Bentak Alam dengan tatapan tidak terima pada Fera.

"Jangan lupa nyawa lo juga cuma satu." ucap Alam, setelah itu ia pergi meninggalkan Fera dan laki laki berbaju hitam itu menuju pespanya. Membawa dirinya kembali ke rumah sakit dan menemukan Shena yang sudah siuman di salah satu ruang inap.

Alena keluar dari ruangan inap Shena, mendatangi Alam.

"Lo ga mau masuk?" Tanya Alena, "Gausah. Gue balik aja." Jawab Alam. "Yakin? Ga mau nannya keadaannya?" Singgung Alena. "Cuma kebeset, dia ga akan kenapa kenapa."

"Ngomong satu kalimat gitu ke Shena?" Alena tetap kekeh untuk menawarkan Alam masuk ke ruang inap Shena. "Besok masih ada waktu." Jawab Alam dengan wajah teramat datar. Hingga Alena tidak lagi memaksanya untuk masuk menemui Shena.

Sesungguhnya, laki laki payah itu memang ada.

BreachTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang