Ternyata, selama ini gue salah mengerti. Menerima Gibran menjadi pacar gue bukan keinginan gue. Mungkin hanya ada satu alasan yang dapat menjelaskan kenapa gue menerima Gibran.
*
"Sorry karena Gibran nyakitin lo."
Gue merenggangkan tangan gue, hanya untuk membiarkan Shena mendapatkan pasok udaranya."Gue sakit hati, Lam." Tiba - tiba Shena menangis di pelukan gue. "Gibran bilang gue tolol, brengsek, katanya gue perek, gue mental pelacur, gue sakit hati, Lam. Sesakit itu." Lanjut Shena.
"Emangnya ga bisa ya? Omongin baik - baik, ga usah pake kata - kata kasar, emangnya semua kekesalan harus banget dilampiasin dengan kata anjing, tolol, bangsat? Gue pacarnya, Lam. Dia pacar gue."
Tiba - tiba gue merasa jantung gue berdetak tidak karuan. Entah karena jarak gue dan Shena yang terlalu dekat atau karena kalimat terakhir yang Shena utarakan.
"Dia takut kehilangan lo, Shen." Hanya itu yang keluar dari mulut gue setelah mendengarkan segala unek - unek Shena. Kini tangan Shena sudah tidak lagi memeluk gue. Gue tahu dia sudah melepaskan pelukannya. Tapi gue tidak mau ikut melepaskannya.
Mungkin kata - kata gue untuknya tadi lebih cocok untuk diri gue sendiri. Andai lo tahu, Shen. Gue selalu takut kehilangan lo. Setidaknya Gibran bisa menunjukkan rasa takut kehilangannya di depan lo. Menahan dan menutupi jauh lebih menyusahkan diri, Shen.
"Dia ga takut kehilangan gue. Dia cuma cemburu, setelah itu cemburunya diungkapkan dengan emosi. Cowok macem apa yang ngelampiasin emosinya ke ceweknya sendiri, Lam?"
Gue melepaskan Shena dari pelukan gue, berdiri menyender pagar rooftop sembari menatap wajah Shena yang memerah akibat tangisannya.
"Cowok itu dilahirin punya emosi dan nafsu lebih besar dari cewek, Shen. Mungkin beberapa orang mudah ngendaliinya, tapi pasti ada yang kesulitan buat ngendaliin emosinya sendiri. Gibran mungkin saat itu lagi tersulut emosinya sendiri."
Shena bergeser beberapa langkah dari tempat sebelumnya, mendekat ke pagar rooftop hingga ia dapat menopangkan tangannya di pagar kaca tersebut. "Gue berantem sama Gibran gara - gara lo tau." Kata Shena.
"Soalnya gue lebih ganteng dari dia ya?". Shena menjulurkan lidahnya keluar beradegan seperti ingin muntah, "Pede banget sih." Shena menunjukkan senyum sinis, "Soalnya lo jelek, jadi Gibran takut kalo gue deket - deket sama lo, nanti gue ketularan jelek." Lanjutnya.
"Orang pada bilang gue ganteng." Jawab gue kekeh. "Siapa aja emang?" Tanya Shena. "nyokap gue, tante gue, kakaknya nyokap gue, nenek gue. Waktu itu nenek gue bilang gue mirip Eric Clapton waktu masih muda."
"Hahaha. Ngasaal! Jauh banget, Lam, muka lo sama Grandpa Eric Clapton." Shena tertawa sembari menggeleng - gelengkan kepalanya. Gue hanya memandangi wajahnya dari samping. Hampir dua menit gue hanya diam mematung sambil memandangi wajahnya.
Mungkin ini alasan kenapa Gibran seobsesi itu sama lo, Shen. Gue aja nyaris ga mau orang lain ngerasain jadi gue.
Lucky ya, Gibran. Semoga kalian cepet - cepet putus deh. Biar Gibran ga lucky lagi.