Kencangnya bunyi gemuruh hujan melanda Kota Yogyakarta sore itu.
"Hey, Gib, gimana? Jadi ga? Ujan nih, deres banget." Kata gue melalui telepon beberapa menit seletah gue bubar dari rapat badan pengurus UKM. "Kamu di mana? Aku jemput sekarang."
Gue mengirimkan lokasi pada Gibran, menunggunya beberapa menit sebelum mobil HRV berhenti di depan gue.
"Hai, Gib." Sapa gue setelah masuk kedalam mobilnya, dan tidak mendapat sapaan balik dari Gibran.
Gibran menjalankan mobilnya. Menembus hujan, keluar dari area kampus, "Nanti kita makan dulu atau nonton dulu?" Basa - basi gue di tengah perjalanan. Namun Gibran sama sekali tidak merespon gue.
"Makan dulu aja yaa? Aku laper banget, tadi aku rapat 2 jam gaada istirahat." Lanjut gue, namun mulai memerhatikan raut Wajah Gibran yang kurang mengenakkan. "Gib, kamu kenapa?"
"Menurut kamu, kalo pacarnya selingkuh, mesra - mesraan sama cowok lain, masih wajar di tanya kenapa?"
"Hah? Maksud kamu apa, Gib?" Gue mengerutkan alis, mulai menduga - duga maksud dari omongan Gibran.
Gibran menginjak pedal rem dengan tiba - tiba, sedikit mencelakai pelipis gue yang terpentok dashboard mobil karena lupa memakai seatbelt. Namun sepertinya hal sekecil itu tidak membuatnya khawatir. Ia sedetik pun tidak melempar pandangan ke arah gue.
"Ga usah pura - pura tolol, Shen. Di anter pulang, ciuman di dalem mobil, makan sate Pak Ahmad, apa namanya kalo bukan selingkuh?" Bentak Gibran yang langsung membuat gue menunduk. "Kenapa ga ngelawan?! Bilang semua omongan gue salah, Shen!" Bentakan Gibran terlalu mendominasi, membuat gue hanya bisa menunduk dan menahan air mata gue agar tidak jatuh.
"Anjing! Jadi semuanya bener?! Lo ciuman sama Alam?! Bangsat! Dasar perek!" Teriak Gibran frustasi, tangannya meninju stir mobil berkali - kali. Dan gue mulai tidak tahan untuk mengeluarkan air mata gue.
"Gib, malam itu aku ga sadar." Gue mencoba sedikit meredamkan amarah Gibran, "Ga sadar tapi mau juga kan lo?! Emang dasarnya mental pelacur ya pelacur aja."
Gue menekan doorlock pada pintu mobil di dekat gue lalu keluar dari mobil Gibran. Menyebrangi jalan dengan air mata yang sudah meluap sejadi - jadinya. Gue benar - benar sakit hati dengan kata - kata kasar Gibran pada gue.
Gue berlari entah kemana, pandangan gue tertutup oleh kabut angin yang bercampur dengan debu dan air hujan. Pikiran gue tidak untuk mengendalikan kaki gue. Pikiran gue masih berada di dalam mobil Gibran, masih mencari sebab mengapa dengan mudahnya pacar gue sendiri mencaci gue dengan kata - kata yang tidak pantas.
Gue terduduk pada halte pinggir jalan, sendiri merasakan sesak tanpa tahu pelampiasan. Berusaha menepikan rasa gundah karena kesal. Entah gue hanya tidak terima dengan perkataan kasar Gibran atau gue takut kehilangan Gibran, bagi gue dua - duanya nyaris serupa.
Lalu orang itu datang. Selalu datang di saat - saat seperti ini. Gue gatau radar sekuat apa yang dia punya. Atau elemen apa yang ada dalam dirinya dan terhubung dengan gue. Ini selalu jadi hal aneh yang nyaris ga masuk akal. Karena gue selalu tidak menyangka bahwa dia akan seperti ini. Selalu ada.