Suatu pagi dengan matahari yang sudah menerangi kota Jogjakarta membuka hari baru untuk gue. Ini adalah minggu tenang bagi gue. Tidak bangun terlalu pagi, tidak mandi pagi, tidak merapihkan apartemen, dan tidak kuliah. Sungguh indah dan menyenangkan. Walaupun tanpa merencanakan kegiatan apapun.
Dering ponsel membuat tubuh gue yang sudah panas—terlalu lama menempel di kasur—beralih pada meja belajar di sudut timur kamar. Mengangkat panggilan telepon yang berasal dari Ratu.
"Halo? Shen, gue habis olahraga sama Gibran. Sekarang gue lagi cari makan, lo nitip makan apa?" Tanya Ratu dari seberang sana. "Ga usah. Gue bikin nasi goreng aja." Jawab gue.
"Oh, oke." Balasnya. "Eh, Ra." Panggil gue sebelum Ratu mematikan sambungan teleponnya. "Iya, kenapa?"
Bisa tolong kasih handphone lo ke Gibran ga? Gue mau ngomong.
"Oh, gapapa. Nanti kalau lo udah mau pulang mampir ke warung depan ya, pesen galon 2 bilang aja Shenina yang pesen." Jelas gue yang langsung di-oke-kan oleh Ratu. Padahal kalau galon gue juga bisa beli sendiri, sebenarnya.
Gue kembali menaruh ponsel pada meja belajar. Mengikat rambut gue seperti buntut kuda sebelum ke luar kamar untuk membuang sampah.
Lift terbuka beberapa menit setelah gue memencetnya. Tanpa menampilkan seorang pun dari dalam lift, gue masuk kedalamnya. Namun saat pintu lift akan tertutup, seseorang menahan pintu lift tersebut dari luar, "tunggu sebentar!" Katanya.
Gue menekan tombol door open pada tombol lift. Dan saat itulah gue merasa pernah melihat laki - laki itu.
Ia tersenyum pada gue sebelum akhirnya memosisikan tubuhnya di samping gue. Otak gue terus berpikir. Mengingat kejadian apa yang membuat gue bertemu dengan dia.
Ah!
Stan bazar makanan!"Mau buang sampah juga?" Tanyanya membuka obrolan pada gue. "Iya," Jawab gue seadanya. "Lo anak psikolog ugm, ya?" Tanyanya tiba tiba. Membuat gue yakin dengan ingatan gue mengenai dia dan stan bazar makanan.
"Lo ugm juga?" Tanya gue setelah menganggukkan pertanyaannya sebelumnya. "Iya. Kenalin, gue Calvin." Laki laki itu mengulurkan tangannya pada gue. "Gue Kezia." Gue membalas uluran tangannya.
Entah apa alasan gue berbohong menyebut nama gue sendiri. Saat itu gue hanya merasa iseng dan menurut gue tidak penting untuknya tahu biodata mengenai gue.
Pintu lift terbuka pada lantai pembuangan sampah. Beberapa menit gue dan Calvin menaruh sampah milik masing masing sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam lift.
Tidak ada obrolan selain bunyi 'ting' saat lift sampai pada lantai 22 dan "gue duluan, ya." Sebuah ungkapan pamit basa basi gue sebelum masuk ke dalam apartemen gue sedangkan Calvin masih entah lurus kemana pintu apartemennya berada.
Setelah selesai membuang sampah gue pergi menuju dapur, membuat sarapan untuk diri gue sendiri. Actually, that's not really breakfast. Seinget gue, waktu itu gue bangun jam 10 a.m. Brunch a.k.a breakfast-lunch mungkin yang benar.
Kurang lebih 10 menit kemudian, seseorang membunyikan bell apartemen gue. Dibukakan pintu tersebut oleh gue kemudian menampilkan seorang laki laki yang beberapa waktu lalu membuang sampah bersama gue.
"Hey, ini, gue ada camilan lebih. Nyokap gue bawa dari Palembang." Katanya sembari memberikan kotak berisi mpek - mpek dengan kuah dan segala tetek bengeknya. Menurut lo, ga mungkin kan gue cuma terima aja?
Akhirnya, saat itu gue menawarkannya untuk masuk ke dalam apartemen gue dan menyuruhnya menyicipi nasi goreng buatan gue.
Calvin duduk di sofa depan menunggu gue yang masih melanjutkan masak memasak gue di dapur. Dan sesuatu terjadi sebelum gue selesai menghidangkan nasi goreng gue pada Calvin.
"Shen, gue boleh numpang ke toilet lo?"