Gue memutarbalikkan tubuh kembali kearah Gibran. Kembali terpesona dengan tubuh dan senyumannya.
"Barang lo di mobil gue aja." Tawar Gibran. "Gausah. Gue bawa sendiri aja." Gue menoleh ke parkiran motor. Hanya melihat beberapa deretan motor tanpa Alam disana. Entah sudah sejak kapan Alam pergi.
"Lo bareng mobil gue aja." Tawarnya. "Gausah ka," saat itu, dengan pengetahuan yang minim, Alam berorientasi untuk memberontak Gibran.
"Kalo dia ga mau ga usah dipaksa." Entah datang dari mana, Alam mendorong tubuh Gibran agar mundur beberapa langkah dari gue. Gue menatap Alam kaget, memberinya instruksi untuk pergi. Namun Alam tidak menuruti apa yang gue suruh.
"Gue ga maksa dia. Gue cuma nawarin." Jawab Gibran santai. Karna takut memihak, akhirnya gue memilih untuk bungkam.
"Tapi daritadi dia udah nolak lo!" Alam memasang wajah senganya. Namun Gibran seperti tidak ingin ambil pusing. Gibran menatap gue dengan tatapan meminta penjelasan. Gue hanya meyuruhnya pergi dengan bahasa tubuh. Kemudian Gibran benar benar pergi dari hadapan Alam.
"Apaan sih lo, Lam? Kayak anak kecil tau ga?!" Bentak gue saat Gibran pergi dari hadapan gue dan Alam.
"Dia maksa lo, Shen." Jawab Alam. "Dia ga maksa gue! Dia cuma nawarin. Makanya kalo gatau apa apa gausah ikut campur!" gue pergi dari hadapan Alam. Menuju pusat barisan seluruh maba. Kembali menetralkan suasana yang sempat menjatuhkan mood gue.
30 menit berlalu, setelah pembagian acara untuk malam inaugurasi sesuai fakultas masing masing, gue menaiki sebuah mobil TNI dengan maba dari fakultas psikologi pergi menuju tempat perkemahan di gunung nglanggeran.
Sampai di tempat tujuan pada jam 10 siang dan membangun beberapa tenda dalam waktu kurang dari 1 jam.
Gibran duduk sedikit menjauh dari keramaian. Memainkan ponselnya yang tidak ada sinyal. "Hey," sapa gue kemudian duduk disamping Gibran.
Gibran hanya menyambut gue dengan senyum simpulnya. Gue menyadari Gibran masih menagih penjelasan atas Alam.
"Yang tadi itu namanya Alam. Temen sma gue. Dia mantan pacar sahabat gue." Jelas gue. Kemudian Gibran menghadapkan wajahnya ke gue, lalu tersenyum. "Bikin pop mie yuk." Ajaknya sembari bangun dari duduknya. Ia menjulurkan tangannya pada gue, memudahkan gue untuk bangun dari duduk gue.
Dan pada malam inti inaugurasi, gue baru mengetahui identitas wanita yang waktu itu menanyakan slayer gue, memberikan slayernya pada Alam, dan berdebat dengan Gibran di uks itu adalah senior sefakultas dengan gue. Namanya Fera.
"Baru ospek aja udah centil sama angkatan gue. Lo bego apa tolol?! Mau nyari bekingan buat ngelindungin lo? Goblok!"
Begitu kira kira cara Fera membentak gue. Dan berkepanjangan sampai Gibran—yang tadinya hanya memantau—akhirnya turun tangan untuk menengahi perlakuan Fera pada gue.
Di malam itu, gue mengambil kesimpulan bahwa Fera suka dengan Gibran.
"Sorry, Shen." Tiba tiba Gibran bersuara setelah lama berdiam diri di samping gue. "Loh, kenapa?" Tanya gue memancing. Dengan campuran sifat dingin dan maskulinnya itu, ia menjawab, "gue kira Fera ga akan main fisik."
"Ooh, santai aja, ka." Gue mencoba mencairkan suasana, "panggil gue Gibran aja. Biar ga kaku."
Malam itu, ingin sekali gue menggetok kepalanya. Ah, udahlah. Mungkin dia ga sadar kalo yang bikin kaku itu dia sendiri.