Kaki gue melangkah menuju ruang musik. Fera lagi - lagi meminta gue untuk bertemu dengannya. Mungkin ia melihat gue melakukan kesalahan. Oh tidak juga, ia memang sudah mendendam hingga tidak salahpun gue, akan tetap dianiaya.
Gue mencari seseorang yang menyuruh gue ke ruang musik sore itu. Namun gue tidak menemukannya. Mungkin belum datang. Atau mungkin sedang mencari saus untuk ditumpahkan ke wajah gue. Gue tidak tertarik akan kejutan. Makanya, kali ini gue sedikit merasa takut.
Hingga akhirnya gue melihat sebuah siluet dari balik tubuh gue yang memantul dari sebuah kaca. Seseorang berpakaian gelap dengan masker di wajahnya.
Gue memutar balikkan tubuh, menghadap ke seseorang yang ternyata sudah berdiri tepat di belakang gue. Dan dengan tiba tiba, seseorang membeset lengan kiri gue. Mata gue terpaku melihat benda di tangannya yang meneteskan beberapa darah ke lantai. Gue melihat lengan kiri gue, dan saat itulah dia berlari meninggalkan ruang musik.
Kaki gue melemah. Tangan kanan gue tidak bisa bergerak. Terlalu lunglai untuk menyentuh lengan gue yang sudah tertutup banyak darah.
Yang terjadi hanyalah gue yang terjatuh ke lantai. Dengan segala pikiran buruk yang mungkin akan terjadi pada gue.
Seluruh indera di tubuh gue masih berfungsi sangat baik, tapi gue terlalu takut untuk berjalan keluar ruang musik. Berharap ada penolong pun pasti belum tentu terkabul.
Air mata gue mulai menetes. Bagaimana perasaan keluarga gue di Jakarta jika mendengar kabar gue yang tiada, adalah pikiran konyol yang membuat tangisan gue malah semakin menjadi jadi.
Hingga seseorang masuk ke dalam ruang musik, berkata, "Halo?" Dengan langkah yang sedikit ragu.
Gue hanya mengencangkan suara tangisan gue. Bukan karena agar dia mendengarnya, tapi sedih gue semakin jadi karena suara 'Halo?' berkemungkinan besar menyelamatkan nyawa.
Gue belum tentu mati di sini, adalah pemikiran gue setelah mendengar suara seseorang.
Kemudian Alam datang dengan segala macam raut tidak mengenakkannya, berlari ke arah gue.
Menurut kalian kenapa? Sekian banyak mahasiswa, kenapa Alam?
Alam berlari keluar ruang musik, membopong gue yang sudah tidak sadarkan diri, entah kapan gue mulai tidak sadarkan diri.
Dia menannyakan satu persatu orang yang berpapasan dengan dia sambil membawa gue entah kemana, dia juga tidak tahu karena sangat takut, "Bawa mobil ga?!"
*
Gue membuka mata, menemukan gue yang tengah berbaring di atas ranjang rumah sakit. Mata gue melirik pada kursi yang berada tepat di samping ranjang. Seseorang dengan kepala yang tertunduk duduk di sana.
"Alam?" Gue mencoba memanggilnya, dan Gibran mendongakkan kepalanya. "Shen, lo gapapa?" Tanya Gibran sambil mengusap ujung kepala gue. Gue mengangguk. "Gue kabarin yang di luar dulu, ya?" Katanya sebelum keluar dari ruangan tersebut.
Gue menunggu. Menunggu yang di luar—Alam—masuk dan berdialog dengan gue.
Beberapa detik setelah Gibran keluar, Alena dan Hanu masuk. Tanpa Alam.
Alena memasang raut wajah khawatir melihat gue yang dengan lunglainya terkapar di atas ranjang rumah sakit. "Siapa yang udah bikin lo begini sih?!" Alena duduk di samping ranjang. Gue hanya tersenyum kepada teman satu homestay gue itu.
"Santai aja. Yang penting gue masih hidup." Alena menyubit perut gue. "Kenapa ga lari sih pas lihat ada yang masuk ke ruang musik?" Tanya Alena lagi. "Gue ga tau kalo dia mau nikam gue. Udahlah ga penting. Yang penting gue masih hidup, Len."
Gue menatap Alena, ingin bertanya tentang dimana Alam. Atau apa yang terjadi dengan Alam selama gue tidak sadarkan diri. Gue ingin seseorang memberi tahu gue dimana Alam. Gue mau tahu kabar Alam. Tapi saat itu, tidak ada yang tanggap dengan mau gue.
Dimana Alam saat itu?