"Kamu tau Shen siapa yang nolong kamu?" Tanya Gibran saat gue dan dia sudah berada di dalam mobilnya, dalam perjalanan menuju apartemen. Gue hanya diam. Merasa takut serba salah jika menjawab.
"Kamu udah ngabarin keadaan kamu ke dia?" Tanya Gibran lagi yang tidak tahu ingin gue jawab seperti apa. Gibran menatap wajah gue sekilas sebelum melanjutkan pembicaraannya,
"Aku pasti cemburu, Shen. Aku yang pacar kamu tapi ketika kamu dalam masalah, aku bukan orang pertama yang nolongin kamu. Aku bukan cemburu sama Alam, tapi aku cemburu karena Alam bisa ada buat kamu di masa sulit kamu kayak gini."
Gibran menghela napas berat, "Aku tahu kamu menghormati aku sebagai pacar kamu, tapi aku tahu posisi Alam. Menurut kamu kenapa tadi dia ga nemuin kamu setelah kamu siuman?"
Gue hanya menatap Gibran iba, tidak mengangguk dan tidak pula menggeleng.
"Dia pasti takut nangis di depan kamu." Jawabnya dengan tenang.
Gue diam, membuang pandangan pada deretan cafe di tepi jalan yang dipenuhi gelak tawa kalangan anak muda. Kiranya, ramai di luar tidak mengubah sepinya di dalam. Entah rasa apa, gue sangat ingin melihat wajah Alam. Setidaknya gue ingin tersenyum walaupun tidak terbahak bahak.
"Kamu tau, perasaan yang dia miliki lebih besar dari yang aku punya." Gibran bersuara di tengah tengah keheningan. "Tapi kamu juga tau, dia ga pernah berjuang apa apa untuk kamu." Gibran menghentikan mobilnya di lantai parkir apartemen. "Kamu bikin jalan yang mudah untuk dia dapetin kamu. Tapi dia nyia - nyiain kesempatan itu. Apa aku egois buat ngerebut kamu dari dia?"
"Lalai itu memang milik manusia, Gib. Aku ngantuk. Makasih udah nganter. Hati - hati." Gue keluar dari mobil Gibran. Berjalan pelan menuju lift yang berjarak 1,5 meter dari mobil Gibran.
Alam kembali menyalakan mobilnya yang sejak tadi terparkir di basement apartment, tempat Shena berpamitan dengan Gibran.
Menjalankan mobilnya menuju jalur keluar apartment. Alam menatap paper bag mini yang berisi perban, kasa, dan perlengkapan obat obatan lainnya. Entah jika tidak jadi malam ini, kapan lagi akan ada kesempatan untuknya memberi pada Shena.
Atau mungkin akan berakhir pada tong sampah.
*
Fera mondar mandir tidak karuan di dalam kamarnya. Menunggu telepon dari Alam, laki laki yang entah sejak kapan mulai membuatnya jatuh cinta.
Fera mengambil ponselnya di nakas samping tempat tidurnya, membaca pesan yang di kirim Alam padanya.
"Hubungan kita selesai, Ra."
Fera menekan tombol telepon pada kontak Alam, kemudian Alam mengangkat pada dering ke empat.
"Halo, Lam?! Kenapa?" Tanya Fera, "pesan gue belom jelas?" Jawab Alam dengan sangat malas. "Tadi kamu cuma salah paham, aku bisa jelasin semuanya." Jawab Fera. "Maaf, Ra." Alam bersuara sebelum akhirnya mematikan sambungan teleponnya.
Fera membiarkan ponselnya menempel di telinganya walaupun sambungan teleponnya telah terputus. Sama halnya seperti ia yang membiarkan hatinya terbuka untuk orang selain Gibran.
Fera selalu merasa jantungnya berdetak tidak karuan setiap kali Alam berkata lembut terhadapnya. Fera selalu merasa nyaman setiap kali mendengar suara Alam dari speaker ponselnya.
Tidak ada yang Fera ketahui tentang hubungan Alam dengan Shena. Hanya satu hal yang entah sejak kapan menjadi alasan Fera untuk terus mengusik Shena. Bukan lagi karena Gibran.
Tapi karena Alam membentaknya malam itu.
*
"Sebentar ya, Ra." Alam bangkit dari duduknya. "Mau kemana?" Tanya Fera sebelum Alam pergi menuju lorong toilet.
Fera melihat seorang wanita yang ikut bangun dari kursinya pada jarak empat meter dari mejanya. Fera langsung berasumsi bahwa wanita yang sedari tadi menjadi pusat bidikan matanya itu akan pergi ke toilet.
Dengan cepat ia berjalan menuju lorong toilet. Menemukan Alam yang baru saja keluar dari dalam toilet pria. "Ken..." Belum selesai Alam bersuara, dengan sergap Fera melahap bibir Alam. Matanya menatap ujung lorong dan menemukan wanita itu tengah berdiri dengan tatapan terkejut.
Fera melumat bibir Alam. Kini ia mulai tidak peduli bagaimana ekspresi wanita tersebut, dia hanya mulai menikmati ciuman yang ia buat sendiri. Hingga Alam mendorongnya ke tembok belakang Fera.
"Bangsat." Umpatnya yang langsung berlari menuju tempat dimana Shena sebelumnya berdiri.
Dan entah sejak kapan, Shena sudah hilang dari tempatnya. Dan Alam pun tidak menemukannya di luar restaurant.
"Jangan sembarangan, Ra! Dan ini tempat umum! Bukan rumah nenek lo."