part 22

15 10 1
                                    

"Apa apaan sih lo semalem?" Teriak Fera yang main masuk setelah dibukakan pintu oleh Calvin. "Apaan sih? Masih pagi." Jawab Calvin seadanya dan langsung meninggalkan Fera dari ruang tamu ke kamar.

"Maksud lo apaan ngasih minuman ke Shena?!" Bentak Fera yang mengikuti Calvin masuk ke dalam kamarnya. "Masalahnya apa si sama lo?" Calvin kembali melemparkan pertanyaan pada Fera.

"Gara gara lo, Alam semalem pulang sama Shena. Masalah lah buat gue." Jawab Fera. "Salah siapa menurut lo? Lo atau mantan pacar lo yang lebih milih cewek lain?"

Fera menampar Calvin. Bukan karena Calvin salah berkata. Tapi karena ucapan Calvin benar adanya.

"Makanya jangan egois, Ra. Gibran atau Alam. Jangan ngusik orang demi keegoisan lo. Karma itu ada." Calvin bangkit dari kasurnya, berniat untuk meninggalkan Fera di apartemennya, "Gue mau bantu lo waktu itu, bukan berarti gue punya otak yang sama kayak lo." Calvin diam beberapa saat, "Andai cinta sama orang bisa pilah - pilih, ga mungkin gue mau jatuh cinta sama cewek egois kayak lo, Fer." Calvin keluar dari apartemennya, meninggalkan Fera yang diam tak berkutik setelah mendengar dialog Calvin.

*

Gue berlari menuju mesin cuci setelah pulang membeli bubur dengan Gibran. Mengecek baju yang semalam gue kenakan.

Shit.

Gue menemukan kepala gue kembali pusing setelah melihat baju yang semalam gue pakai ada di dalam mesin cuci.

Alam membopong gue yang tidak sadarkan diri malam itu ke salah satu kamar yang ada di lantai 22 apartemen. Membawa gue masuk ke dalam apartemen dan menaruh gue di atas ranjang.

Gue memerhatikan Alam yang berjalan keluar dari kamar gue, dan mungkin keluar dari apartemen gue juga.

Setelahnya, gue kembali mendengar suara pintu apartemen gue terbuka. Seseorang masuk ke dalam kamar gue.

"Gerah." Adalah satu satunya kata yang keluar dari mulut gue sebelum Alam akhirnya membuka lemari baju gue dan mengambil satu setel pakaian tidur. Gue melihat Alam jalan ke arah gue, membuka satu persatu kancing kemeja yang tadi sempat ia kancingkan kembali sebelum gue turun dari mobil.

Kemudian ia membuka kancing dan menurunkan resleting celana jeans gue.

"AAAaaaa..." Gibran dan Ratu masuk ke ruang mesin cuci dan menemukan gue yang terduduk di lantai.

"Kenapa, Shen?!" Tanya Gibran panik. Gue menatap keduanya dengan tatapan panik juga. "Engga, engga. Gapapa." Jawab gue yang sebenarnya sedang meyakinkan diri gue sendiri.

"It's okay, Shen. You're not totally naked." Gue bersuara pelan. Masih meyakinkan diri gue sendiri atas apa yang baru saja terlintas dalam ingatan gue. "Tadi, ada kecoa terbang ke arah gue." Kata gue yang membuat Ratu dan Gibran menghela napas panjang.

"Gue bikin teh, ayo ke depan." Ratu membantu gue berdiri. Dan gue berusaha memasang ekspresi wajah seperti tidak ada sesuatu yang terjadi pada diri gue. Hingga ponsel gue berbunyi, menunjukkan nama gue sendiri di sana. Tidak mau bingung, akhirnya gue membuka pesan itu.

Shena.
Ketuker, Shen.

Shena.
Hp lo, sama punya gue.

Gue mengecek case ponsel dan menemukan kebenaran atas pesan Alam. Sebuah kesialan yang sukses membuat jantung gue serasa ingin lompat.

Alam.
Oh iya,

Shena.
Lo dimana?

Alam.
Di apartment.

Shena.
Kalo gitu, gue ambil sekarang?

Tangan gue gemetar. Takut untuk menjawab iya.

Alam.
Di apartemen gue ada Gibran. Nanti sore aja.

Setelah menjawab pesan dari Alam, Shena menaruh ponsel Alam di dalam kamarnya.

"Semalem lo pulang sama siapa, Shen? Gue sama Gibran nyariin lo di bazar makanan, tapi ga ketemu." Kata Ratu saat gue kembali duduk di hadapannya, melanjutkan makan gue.

"Semalem lo tidur di mana?" Tanya gue, tanpa menjawab pertanyaan Ratu pada gue.

Keduanya diam. Ratu dan Gibran. Sama sama bungkam.

Bukan masalah. Wajar, karena Ratu cantik.

BreachTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang