part 13

16 8 0
                                    

Hari kedua inagurasi, setiap menitnya gue hanya terus merasa jatuh cinta dengan Gibran. Dengan caranya berbicara kepada seluruh maba, dengan caranya memberi arahan kepada teman temannya, dan dengan senyumnya. Gue yakin gue jatuh cinta sama dia. Fix.

"Shen!" Seseorang memanggil nama gue dan menyadarkan gue dari lamunan. "Eh, iya?" Pandangan gue baru saja teralihkan dari Gibran.

"Kerasukan lo, bengong di tengah hutan." Jawabnya, dia Letta. Seseorang yang berhasil mengenyahkan lamunan gue tentang Gibran.

"Setan juga males masukin gue, Ta. It's torture for them." Jawab gue. Letta
hanya tertawa. Membuat gue kembali tidak ada kerjaan dan akhirnya lagi lagi menaruh pandangan pada para senior laki laki yang sedang berkumpul dengan jarak tak jauh dari kediaman gue dan Letta. Sehingga gue dapat melihat dengan jelas Gibran dan senyumannya sedang memainkan gitar untuk mengiringi teman - temannya bernyanyi.

"Gibran tuh manis ya, Shen?" Letta bertanya seperti ingin mendapatkan teman yang sependapat dengannya. Dan gue menyetujuinya, "iya, manis." Jawab gue yang sudah senyam senyum sendiri mabuk oleh senyuman Gibran yang bukan untuk gue.

"Oh astaga! Gue lupa bikin surat cinta!" Letta tiba tiba membulatkan matanya, terkejut dengan apa yang baru saja ia ingat. "Hah? Surat cinta apa?" Gue memasang wajah bingung. "Itu Shen, yang disuruh bikin surat cinta buat senior."

"Oh iya!"

Gue dan Letta kembali ke tenda, berniat untuk mencari sebuah kertas beserta pena yang nantinya akan membantu kita untuk menyurahkan isi hati kepada salah satu senior. Dan setelah menemukan pena beserta kertas, dan setelah pertanyaan Letta, gue menemukan otak gue tanpa isi.

"Lo mau kasih ke siapa, Shen?",

Gue jelas tidak menemukan cara untuk menjawab pertanyaan Letta. Dan gue tidak tahu kenapa gue tidak dapat menjawab pertanyaannya.

Dan sepertinya Letta sudah tidak perduli lagi dengan pertanyaannya pada gue. Ia kemudian sibuk sendiri dengan kertas dan penanya. Sedangkan gue masih terdiam dengan kertas kosong dan pena yang masih tertutup rapat oleh tutupnya.

Sampai akhirnya terdengar suara langkah kaki mendekat ke tenda gue dan Letta. Sebuah bayangan semakin terlihat membesar akibat jaraknya menuju tenda semakin dekat.

Dan tiba tiba, wajah itu muncul. Laki laki yang gue lupa bahwa gue sebenarnya tidak sejauh itu dengannya. Helo, woi, dude. Gue tau jawabannya!

"Ta, gue cari angin dulu ya sekalian cari bahan buat ngegombal di kertas." Dengan cepat gue keluar dari tenda, mendorong Gibran yang sampai saat gue keluar tenda belum gue ketahui apa tujuannya datang ke tenda gue.

Letta sama sekali tidak ngeh dan tidak perduli. Yang gue ingat, Letta hanya menjawab dengan gumaman dan tetap sibuk dengan kertas di hadapannya.

"Kenapa, Gib?" Tanya gue setelah berada di luar tenda. "Loh? Siapa yang manggil lo?" Gibran memasang wajah bingungnya. Gue menunduk. Malu untuk menatap wajahnya. Asli, gue bodoh karena menganggap Gibran datang untuk gue.

Gibran tertawa sebelum akhirnya mendongakkan kembali kepala gue. "Jalan jalan yuk?" Tawarnya.

Di sepanjang jalan, Gibran sibuk melucu dan gue dengan bodoh dan kakunya merespon dengan jawaban freak bin krik.

Sampai akhirnya Gibran menyadarkan gue akan kertas CSC a.k.a kertas—Calon Surat Cinta— yang sudah gue remuk remuk akibat dari kegugupan gue jalan dengan dia.

"Kertasnya penting ga? Lecek tuh," katanya sambil melirik kertas yang sedaritadi gue remas di tangan kanan gue.

"Oh iya! Ini buat itu," gue terdiam. Tadinya buat bikin surat cinta ke lo, Gib.

"Buat apa?" Tanyanya karena pernyataan gue yang menggantung. "Mau tau ga, Gib? Gue nemu surat cinta yang ga sempet di tulis sama penemunya. Isi suratnya," gue berusaha untuk melucu ditengah tengah kekikukkan yang ada.

"Lo tau ga, Gib?" Tanya gue, tapi tiba tiba Gibran bersuara sebelum gue selesai melucu. "Kenapa ya, jatuh cinta itu mudah setelah ada lo?"

Gue menunduk. Mencoba mencari tahu apa yang gue butuhkan saat itu. Dan gue baru sadar kalau gue sedang menahan napas. Gue butuh pasokan udara. Jantung gue mengeluarkan suara yang sangat terdengar oleh telinga gue sendiri. Entah bagaimana pada telinga Gibran. Tapi gue melihat wajah Gibran memucat. Karena panik?

BreachTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang