Gue membuka kelopak mata gue dengan sangat berat.
"Entah hari ini atau besok, ada kejutan, Shen."
Hanya perkataan terakhir mamah yang gue ingat setelah gue bangun dari tidur.
Gue turun dari ranjang, menuju dapur untuk setidaknya mengambil roti gandum dan selai cokelat.
Kepala gue terasa sakit. Gue berjalan pelan menuju kulkas dan menemukan notes berwarna hijau disana.
'Kalo lo baca ini, cepet buka kulkas. Angetin sup yang gue bawa semalem. Nyokap gue bilang supnya efektif buat menghilangkan mabuk.'
Gue membuka kulkas dan menemukan bungkusan sup yang belum dipindahkan ke mangkuk.
Kepala gue pening, gue teringat meminum sesuatu dari salah satu stan bazar.
"Gue? Mabuk?"
Gue hanya mengambil air mineral yang ada di dalam kulkas kemudian berjalan menuju remote televisi. Menyalakan televisi sampai gue mendengar seseorang mengetuk pintu apartemen.
"Hey Gib," sapa gue dan seseorang muncul dari balik tubuh Gibran. "Pagi, Shen." Sapa Ratu pada gue.
"Tumben dateng pagi pagi." Gue basa basi terhadap Gibran, namun Ratu yang menjawabnya. "Gibran nganter gue ke apart lo. Nyokap lo udah bilang, kan? Gue tinggal di sini selama seminggu kedepan." Jelasnya.
Gue kembali mengingat kalimat mamah kemarin. Sial. Ini kejutannya?
"Shen?" Gibran menyadarkan gue dari lamunan. "Oh, iya. Istirahat dulu aja. Gue mau ke bawah dulu, beli bubur." Kata gue keluar dari pintu apartment. Saat menunggu pintu lift terbuka, Gibran sudah memosisikan diri di samping gue. "Pake ini." Katanya sambil memakaikan asal sweater dongkernya pada tubuh gue.
dan gue baru sadar kalau sejak tadi gue masih mengenakan pakaian tidur yang sedikit terbuka.
Sebentar, pakaian tidur?
"Semalem aku ga minta kamu pulang duluan, kan? Aku cuma ke fakultas sebentar sama Ratu. Kamu pulang sama siapa?" Gibran menyemburkan dalihnya pada gue. Sedang kepala gue tiba tiba mengingat sesuatu.
"Woy woy!" Beberapa orang mengerumuni gue yang tumbang setelah meminum minuman bersoda pemberian senior.
Seseorang mengangkat tubuh gue, menjauhkan gue dari pengapnya deru nafas orang orang.
Alam memasukkan gue ke dalam mobilnya. Ia tahu, gue mabuk. Ia tahu minuman apa yang diteguk oleh gue. Sampanye adalah hal yang biasa bagi Calvin, orang yang memberikan minuman pada gue, dan orang yang juga bersekongkol dengan Fera—beberapa bulan lalu—untuk menyelakai gue di ruang musik.
Alam membawa mobilnya menuju apartemen gue.
Gue membuka kaca mobil diikuti suara desahan yang tidak dapat gue kendalikan karena rasa pengap. Alam berusaha untuk tidak perduli dan tetap fokus pada jalanan. Hingga tangan gue menjamah pada kemeja gue sendiri.
1, 2, 3 kancing atas terbuka oleh tangan gue sendiri. Dengan cepat Alam kembali menutup kaca mobil yang tadinya terbuka lebar.
Alam membiarkan tubuh gue terekspos dengan keadaan seluruh kancing kemeja gue yang terbuka. Dan Alam membiarkan gue ketika gue duduk di pahanya, menutupi jalanan dari penglihatan Alam.
Dan menciumnya.
Untung perumahan yang dilewatinya tidak ramai mata.
Alam membalas ciuman yang gue berikan dengan sangat sensual. Tangannya beralih dari stir mobil menuju tengkuk gue.
"Shen, aku nannya." Gibran meninggikan suaranya pada gue. Mengembalikan kesadaran akal pikiran gue. "Tadi kamu bilang apa?" Tanya gue.
Gibran hanya mendengus jengkel sebelum akhirnya pintu lift terbuka dan menampilkan Fera di sana.
"Hei," sapa Fera yang terlihat agak terkejut melihat gue dan Gibran. "Hei, Fer. Tinggal di sini juga?" Tanya Gibran setelah gue dan dia masuk kedalam lift, sedangkan Fera keluar dari lift. "Bukan gue. Temen." Jawabnya singkat sebelum pintu lift tertutup kembali.