Gue menaruh beberapa piring ke dalam raknya setelah selesai di cuci oleh Ratu. berdiri berdekatan di area dapur tanpa pembicaraan. Hingga Ratu membuka pembicaraan saat gue hendak meninggalkan area dapur.
"Gimana kabar Alam, Shen?" Tanyanya. Kaki gue seketika berhenti melangkah untuk menjauh, namun tidak juga menjawab pertanyaan Ratu. "Bukannya wajar ya, gue tanya kabar Alam ke lo? Kalian satu kota, satu daerah, satu kampus." Lanjut Ratu.
"Dia baik. Mungkin akan lebih baik lagi kalo lo ketemu sama dia." Jawab gue seadanya. "Lo inget kan Shen, waktu di Jakarta lo bilang apa sama gue?" Oke, benar dugaan gue. Ratu pasti akan membahas ke arah sana.
"Datangi saja Alam secepatnya. Itu memang tujuan lo ke sini kan? Lagi pula, tanpa inget omongan gue malam itu, Gibran lebih dari cukup buat gue." Gue melanjutkan langkah kaki gue keluar dari dapur menemui Gibran yang sedang meminum teh di ruang tengah.
Gue duduk di sofa sebelahnya, menyalakan televisi untuk menghilangkan kesunyian. Tatapan Gibran sesekali tertuju pada gue dan televisi secara bergantian. Namun beberapa menit kemudian, matanya tiada henti menaruh pandangan pada gue. "Kalo ada yang mau di omongin, omongin aja. Aku risih di liatin terus." Kata gue sembari membuang pandangan ke arah televisi.
Saat itu Ratu masih berada di dapur. Entah sedang apa ia berlama di sana.
Hanya suara televisi yang ada setelah gue selesai bersuara. Sepertinya Gibran membawa hal sepele menjadi sesuatu yang sangat serius. "Aku gapapa Gib, kalo semalem Ratu tidur di kos - kosan kamu. Sumpah aku gapapa. Aku juga pernah nginep di rumah temen cowok aku karna ngerjain tugas presentasi kelompok. Dan kamu percaya aku di sana cuma ngerjain tugas. Sekarang aku percaya juga kalo semalem Ratu cuma tidur di kos - kosan kamu." Gue bangkit dari duduk,
"Udah, kamu dari tadi ga pulang pulang cuma mau denger ini dari aku kan?" Kata gue sambil jalan ke arah pintu apartemen. "Engga, Shen. Pertanyaan aku yang di lift tadi, belum kamu jawab." Kata Gibran menahan pergelangan tangan gue.
"Alam yang antar aku pulang." Jawab gue. "Ooh, yaudah, aku pulang dulu." Gue mengantar Gibran sampai menuju lift. Kembali ke apartemen dan menemukan Ratu yang tengah berbicara dengan seseorang di depan pintu apartemen.
Ratu berbicara dengan Alam. Tiba tiba gue merasa ada sesuatu yang mengganjal. Seperti rasa yang bertolak belakang dengan mau gue. Seketika kaki gue tak tahu ingin kemana. Sedikit mondar mandir di lorong yang jaraknya sekitar enam meter dari pintu apartemen.
Hingga mata gue menangkap momen mereka. Ratu melompat ke pelukan Alam, saat itu juga rasanya sangat ingin pergi jauh dari sana.
Gue pikir Jogjakarta istimewa. Gue pikir Jogjakarta hangat. Gue pikir Jogjakarta romantis. Mungkin iya dan tidak. Iya bagi orang orang selain gue. Sama seperti Jakarta yang juga sangat mengecewakan.
Saat itu, gue 100% sadar kalau Gibran cuma pelampiasan aja buat gue yang ga bisa mendapatkan Alam di hidup gue.
Saat itu, saat kembalinya Ratu dalam hidup gue. Tidak selama dulu, tapi lebih menyakitkan dari yang dulu.