part 14

20 8 0
                                    

Bunyi pantulan bola menggema beberapa kali di sebuah lapangan dengan pembatas dinding yang tingginya sekitar 8 meter. Gue memasukkan bola yang sedari tadi gue pantul pantulkan pada lantai lapangan ke dalam ring basket.

Rasanya sangat membingungkan. Dua minggu sebelum hari ini, gue sangat bahagia karena gue jadian dengan Gibran. Tapi sejak kemarin malam, rasanya sangat membingungkan.

Bahkan gue sama sekali tidak pernah melakukan hal seperti yang sekarang sedang gue lakukan—bermain basket—untuk menghilangkan kejenuhan gue. Entah sejak kapan gue merasa diri gue berubah. Dan entah sejak kapan gue menyadari ada yang salah dengan perasaan gue pada Gibran.

Ini bukan karena Gibran.

*dua minggu lalu*

Gue kembali ke tenda dengan status 'berpacaran dengan Gibran'.

Di malam penutupan inagurasi, Gibran memberi tahu beberapa teman laki lakinya kalau gue dengan dia telah berpacaran.

Pukul 01.47, seseorang datang ke tenda gue, meminta gue untuk berbicara dengan dia.

Kemudian, tanpa benar benar berbicara, ia menampar gue. Dan memohon rasa iba pada gue.

Fera menangis di hadapan gue, setelah menampar gue. Meminta gue untuk putus dengan Gibran padahal genap seharipun belum terjadi dalam hubungan gue dengan Gibran.

Fera menampar gue kedua kalinya, kemudian mengancam gue. Dan ancamannya sangat tidak mengancam diri gue. Dan gue selalu yakin dengan omongan gue.

Hari ke tiga gue berpacaran dengan Gibran, Alena baru meragukan hubungan gue.

"Lo yakin sama Gibran?" Tanyanya malam itu. "Yakin lah. Buktinya gue pacaran sama dia sekarang." Alena diam. Diamnya punya makna. Diamnya membuat gue ingat pada ancaman Fera.

Satu minggu gue berstatus sebagai 'pacar ketua bem psikologi', Fera merealisasikan ancamannya terhadap gue. Dan gue sudah pernah bilang, ancamannya sangat tidak berarti apapun untuk gue.

Hingga pada malam sebelum gue menggila dengan isi pikiran gue sendiri di tengah tengah lapangan ini, dan sendirian,

Gue memasuki sebuah restaurant bernuansa Eropa, duduk di meja reservasi atas nama Gibran, namun tanpa Gibran.

Gue baru mengetahui kalau Gibran tidak bisa datang setelah 15 menit gue berdiam di sana.

Bangkit dari kursi kemudian pergi menuju toilet wanita adalah tujuan gue setelah gue menaruh beberapa lembar seratus ribu di atas meja makan.

Namun ketika baru memasuki lorong menuju kamar mandi, gue melihat Alam yang sedang asik berciuman dengan Fera. Fera menaruh tatapannya pada gue yang sedang berdiri di ujung lorong, kemudian tersenyum. Dan gue pergi setelah Fera di dorong ke dinding oleh Alam.

"Dasar Pelacur!" Gue melempar asal bola basket. "Jablay! Gatau diri!" Teriak gue sebelum akhirnya terduduk di tengah lapangan. "Brengsek!"

Dan gue menangis karena alasan yang tidak pernah gue bayangkan akan keluar dari otak gue sendiri, bahkan setelah gue berpacaran dengan Gibran.

Seharusnya tidak begini. Gue cinta sama Gibran. Walaupun ini norak, tapi gue tidak mau bilang bahwa gue sedang menghargai usaha gue untuk meyakinkan diri gue kalau gue cinta sama Gibran. Dan akhirnya gue bilang juga kan?

"Siapa yang brengsek?" Sebuah suara datang bersamaan dengan bunyi bola yang di pantul pantulkan ke lantai lapangan.

BreachTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang