6

6.7K 1K 130
                                    

Masuk ke dalam Adam's Gate tidak begitu sulit.

Hari Minggu, jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Pagi itu Niedere Burgstraße tidak terlalu ramai oleh para turis—sebagian besar orang telah berpesta semalam, dan mungkin sekarang mereka masih tidur nyenyak di kamar hotelnya.

Pintu Adam's Gate menunggu Seokjin. Sederhana. Gelap. Tanda 'Closed' tertempel di depan pintunya. Pintu itu tidak terkunci, sehingga Seokjin bisa dengan mudah mendorongnya.

"Halo!" Panggil Seokjin, dia melangkah masuk dan entah kenapa suasana di dalam ruangan itu membuatnya merinding.

Mengabaikan hawa dingin yang merambat, Seokjin terus melangkah masuk ke dalam klub. Lampu di dalam ruangan itu mati. Kursi-kursi dalam keadaan terbalik dan diletakkan di atas meja. Tempat itu menakutkan, terlalu hening dan sepi— jenis keheningan yang biasa dirasakan di... pemakaman.

Dan kemudian... kemudian Seokjin mendengar suara dentingan kaca. Tatapannya tertuju pada bar. Tempat itu masih kosong sebelumnya, tapi sekarang, dia ada di sana. Pemuda itu memegang sebotol wiski di satu tangan dan sebuah gelas di tangan yang lain. Ketika Seokjin menatapnya, pemuda itu mengangkat gelasnya, memberi hormat, lantas menenggak isinya dalam satu tegukan.

Seokjin mengeluarkan senjata.

Namjoon menyeringai, "Masih menyukai pistol itu?"

Ini semua nyata, kan? Karena pemuda itu mengenalinya.

Namjoon meletakkan gelas dan menekan permukaan meja dengan kedua telapak tangannya. Dia tampak lebih besar. Bahunya meregangkan kaos hitam yang dikenakannya dan mata abu-abunya tampak lebih terang.

"Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi," Seokjin memulai.

"Kau baru saja masuk ke klub milikku tanpa diundang," Namjoon mengangkat sebelah alisnya, "Apa kau mau aku mengatakan, welcome to the Adam's Gate?"

"Apa. Yang. Sebenarnya. Terjadi." Seokjin melangkah mendekat ke arahnya. Sepatu botnya mengetuk-ngetuk di atas permukaan lantai. "Kenapa hanya aku yang mengingat Prunella? Mengapa jejak rekam kejahatan di dekat tempat ini menghilang? Mengapa tidak ada–"

Namjoon tersenyum. Senyuman itu membuatnya merinding dan membuat kata-katanya tersangkut di tenggorokan.

Ada sesuatu tentang senyuman itu. Dingin, gelap, dan... sedih?

Seokjin berkedip dan menggelengkan kepalanya, dan–

Dan pada saat itu Namjoon melompat melintasi bar. Bergerak dalam kecepatan yang aneh dan berada tepat dihadapannya bahkan sebelum Seokjin bisa menarik napas.

Pistol miliknya menekan dada Namjoon. Tepat di mana jantungnya berada. Mereka pernah berada dalam posisi ini sebelumnya. De Ja Vu. "Apa yang kau lakukan?!"

Namjoon mendekatkan wajahnya hingga ujung hidung mereka hampir bersentuhan, "Apa yang kau ingin aku lakukan?" dan hanya seperti itu– suaranya terdengar seperti dengkuran yang sensual. Godaan.

Tidak mungkin. "Kau tidak mencoba merayuku sekarang, kan."

Bibirnya melengkung. Kali ini bukan senyuman dingin yang bisa membuatnya menggigil. "Sejujurnya, aku ingin merayumu sejak pertama kali aku melihatmu."

"Ada mayat seorang gadis di samping klubmu!"

"Benarkah?" Namjoon mengernyit. "Aku tidak ingat akan hal itu."

"Semua orang tidak mengingatnya kecuali aku, benar-benar omong kosong!"

Bibir Namjoon terkatup.

"Prue tewas dengan luka sayatan di lehernya. Tepat di samping klub milikmu. Kau ada di sana. Aku ada di sana. Lalu kita berdua bertemu lagi kemudian kau dan aku menuju ke kantor koroner."

Moonlight | NamJin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang