5. Sebuah Amplop dari Sinar untuk Kara

42.9K 1.3K 128
                                    

"Kalau perasan yang tak terbalas itu susah untuk dilupakan, seenggaknya jangan bikin tambah luka baru dengan cara berharap perasaanmu akan terbalas. Paksakan diri dan latihlah diri sendiri untuk menerima keadaan."
SANJAK TEDUH


"Dasar, Teduh telatan bukan teladan," celetuk salah satu mahasiswa dengan jaket hitam dan logo jurusan Televisi dan Film di lengan kirinya.

Dia menyeletuk tepat ketika melihat Teduh baru saja sampai, padahal mereka berlima lainnya sudah datang tiga puluh menit yang lalu di gazebo kampus.

Teduh tersenyum, meminting leher Dadah hingga pria tersebut meringis dramatis, adek kelasnya sejak SMP itu selalu saja ngelunjak, mentang-mentang selalu dapat jabatan ketua di sekolah ataupun kampus.

"Dadah say goodbye, bercanda doang tadi, sumpah!"

"Bohong! Tadi dia baru aja bohongin ceweknya tiga ribu delapan ratus lima puluh detik yang lalu!" sahut si Jon, anak jurusan Televisi dan Film, satu angkatan sama Teduh.

Jon juga pernah satu SMP, hanya saja beda SMA. Jon ini punya badan yang bisa dibilang lumayan kekar, kadang suka ketawa gajelas yang bikin takut anak orang.

Teduh terkekeh, meniup leher sensitif Dadah hingga Dadah mulai memberontak, "Lepaskan saya! Lepaskan saya! Saya ketua di kawasan ini!"

Tabah selaku paling tua di antara mereka, mahasiswa tahun akhir di jurusan Musik ini bukannya melerai dan membeli Dadah yang ternistakan justru ikut menimpali candaan, "Gali lah lantai tu."

"Bantu saya menggali! Saya ketua di daratan ini!"

"Sayangnya, gue bukan rakyat pulupulu."

"Sialan, rakyat jelata doangan."

"Jaga mulutmu, dasar siluman kelinci."

Jon tertawa melihat ekspresi Dadah yang melas tiada tara sampai-sampai tak sadar dia memukul Jufri disebelahnya, Jufri yang sedari tadi melamun sontak tersadar.

"Lah, sejak kapan bang Teduh kapan mendarat?" tanyanya, sewaktu melihat kating yang sejurusan dengannya. Teduh melepas pintingan, duduk di sebelah Dadah yang sekarang mengelus dada. Yang sabar ya, Dadah.

"Sejak otak lo ngebug, kali."

Jufri menunjuk kepalanya dengan jari telunjuk, "Sejak kapan otak gue ngebug?"

"SERING YA TUHAN!" teriak Tabah, Jon, Dadah, dan Teduh bersamaan.

"Ga merasa, sih, gue."

"Bunuh gue sekarang cepet, capek banget!" tambah Tabah, frustasi.

"Bang, inget nama lo Tabah. Jadi kudu Tabah menghadapi segala masalah, gak boleh pasrah, kecuali lo ganti nama jadi Pasrah. Lumayan Bang, sekalian ganti foto KTP buluk lo."

Dadah sekarang gantian yang menistakan Tabah. Dia tertawa sampai menularkan tawanya kepada Jufri yang sebenernya ga paham harus menertawakan apa sebenarnya.  Motto Jufri : yang penting ketawa ajalah.

"Kama, mana?" tanya Teduh tiba-tiba saat tak melihat kehadiran Kama. Pasalnya mereka sudah janjian di sini bertujuh.

"Gak tau, line gue ga dibaca. Gue cek di line lite juga dia ga baca grup. Lagi di rumah Sinar kali, kata lo sinar sakit, kan?"

Teduh mengiyakan pertanyaan Jon, "Lo ngapain ngajak kita ngumpul?"

"Hari ini hari ayah, gue cuma mau nepatin janji kita aja, buat ngerayain hari ayah bareng ayah masing-masing, divideoin nanti dikirim lewat line sesuai janji waktu kita menang lomba bulan lalu," jelas Jon.

Sanjak TeduhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang