"Sebelum aku pergi dari bumi. Aku cuma ingin merasakan rasanya disayang orang tua, seperti teman-temanku di luar sana yang bisa tertawa bahagia dan menghabiskan waktu bersama mereka. Keinginanku ini terlalu halu, kah?"
SANJAK TEDUHTeduh mampir ke beberapa toko sebelum menemui ayah. Pertama, toko kue, dia membeli kue bertuliskan selamat hari ayah dengan kue warna hijau rasa matcha kesukaan ayah.
Kedua, toko jam tangan limited edition yang sempat Teduh pengin beli beberapa tahun lalu untuk ayahnya, tapi baru bisa dia beli sekarang dari hasil tabungan.
Ketiga, percetakan untuk mencetak beberapa foto keluarga tempo lalu di sebuah polaroid. Keempat, toko bunga untuk membeli bunga tentunya, mengisi kekosongan kotak berisi polaroid agar nggak kesepian.
Di sepanjang perjalanan, Teduh nggak berhenti tersenyum senang. Sebab, dia sudah lama tidak bertemu ayahnya. Dia benar-benar merindukan ayah. Lebih tepatnya kasih sayang seorang ayah. Terlebih setelah melihat video-video keakraban teman-temannya dengan ayah masing-masing di grup line.
Selepas memarkirkan mobil. Teduh mengetuk pintu rumah ayah. Pintu terbuka menampakkan Teladan yang langsung memeluk abangnya sebentar. Melepas rindu karena sudah lama nggak bertemu.
"Bang, kok lo ga bilang kalau mau ke sini?"
"Kan, kejutan. Terkejut kan lo?" kekeh Teduh diikuti kekehan kecil dari mulut Teladan.
"Banyak amat tentengan lo, sini gue bawa," celetuk Teladan yang mengambil alih dua paperbag dari tangan Teduh, mereka masuk ke dalam, memilih singgah di dapur, menaruh kue di meja makan untuk dimakan bersama nanti.
"Ini hari ayah, ayo rayain bareng. Ayah mana? Kang Timon? A Kara? Pada kemana?"
"Kak Timon masih kerja belum pulang, A Kara ada di kamar. Ayah juga ada di kamar. Kayak biasa, individualisme. Kok bisa ya ayah orang-orang deket sama anaknya?"
Teladan mencerocos kesal, mengeluarkan unek-unek terdalam selama berada di rumah yang relatif sepi. Mengeluarkan barang-barang yang dibeli Teduh dan menyusunnya di atas meja.
"Kita juga bisa deket sama ayah, kalau pake sedikit pancingan. Lo panggil A Kara, gue panggil ayah."
"Gue masih takut. Lo gak kapok emang? Ayah kan ga suka sama lo. Ini pake segala ngerayain hari ayah atas dasar pancingan segala."
"Segasuka nya ayah ke gue, ayah ga bakal bunuh gue juga."
Teladan mencibir, "Lo bukan Nanno, jangan sok-sokan berlagak nyawa lo banyak."
"Kenapa? Lo segitu takutnya gue mati?"
"Cabut omongan anjir! Omongan doa, Saringan mulut lo kalau rusak ya gak gini juga ngomongnya."
"Cabut omongan. Udah sana ke Aa, gue ke ayah dulu."
Teduh menaiki tangga, sedangkan Teladan masuk ke kamar Kara yang berada di lantai satu. Di dalam hati Teladan, dia gak berhenti berdoa supaya ayahnya bisa menerima kehadiran Teduh hari ini.
Teladan menghampiri Kara yang sibuk berkutat dengan laptop dan kertas revisian yang penuh dengan banyak coretan, "A, ke dapur ayo. Ada bang Teduh."
"Ngapain dia?" tanya Kara dengan mata yang tetap fokus pada layar laptop. Seakan kehadiran Teduh nggak lebih berharga dari skripsiannya.
"Hari ayah."
"Skripsian gue lebih penting. Ayah juga ga pernah mau ngerayain hari-hari kayak gini. Sana-sana, jangan buang waktu gue, kek, elah."
Teladan mengambil paksa laptop Kara, meletakkannya di atas kasur, "Ayo A, biar kayak orang-orang. Sebentar doang kok, ga sampe sejam paling. Gue cuma minta sejam doang buat family-time, bukan dua puluh empat jam, A."
![](https://img.wattpad.com/cover/149884559-288-k573359.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanjak Teduh
Teen Fiction[BEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW DULU BARU BISA BACA] "Memang benar ya, Sinar selalu menghangatkan hati Teduh meski dengan cara yang paling menyakitkan. Terima kasih Sinar, selepas semua kegelapan yang datang, kujamin bumimu akan tetap aman."