"Selagi masih bisa, aku ingin melakukan semua hal yang kemungkinan tidak bisa aku lakukan lagi di kemudian hari."
SANJAK TEDUH"Ngapain sih Nar malem-malem gini?" tanya Tabah yang baru saja datang, dia masih duduk di jok motor maticnya dengan kaca helm yang sanga dibuka agar suaranya terdengar jelas di telinga Sinar. Sinar tadi menyuruh Tabah untuk segera datang ke rumahnya. Entah untuk apa, padahal jarang sekali Sinar berkomunikasi dengan Tabah.
Sinar yang sudah memakai helmnya sendiri itu tidak menjawab pertanyaan Tabah. Dia sibuk menelpon seseorang seraya menyebutkan alamat lengkap Jelita. Hal itu membuat Tanah mengernyit heran. "Lo nelpon siapa?"
Setelah menyebut alamat rumah Jelita dan mengucap terima kasih, Sinar mematikan telponnya. Dia menaiki jok motor Tabah. "Banyak tanya lo, Bang. Anter gue ke rumah pacar lo. Cepet!"
"Anjir, udah nyuruh, maksa, ga jawab pertanyaan lagi. Pantes Kama gak betah sama lo." Tabah tidak berniat mengungkit masalah itu, perkataannya keluar begitu saja.
"Gue ga suka bahas masa lalu, Bang. Lo tinggal anter gue ke rumah Jelita sekarang, nanti juga lo bisa jawab pertanyaan lo sendiri."
"Gue gak maksud Nar. Mulut gue nih yang nakal. Maaf-maaf." Tabah mulai mengendarai motornya dengan kecepatan normal, mengingat Teduh yang tadi memperingati Tabah saat Tabah bilang Sinar memintanya untuk menjemputnya di rumah. Tadi memang Tabah sedang bersama Teduh untuk mengerjakan skripsi bersama-sama di rumah Tabah.
Selepas sampai di depan pagar rumah Jelita. Sinar membuka kunci pagar. Tabah lagi-lagi bertanya-tanya kenapa Sinar bisa memiliki kunci rumah Jelita? Mulai dari pagar, pintu utama, bahkan kunci kamar Jelita. Sinar bahkan tak segan mengetuk pintu kamar Alfie.
Alfie yang merasa terganggu, mulai bangun. Dengan keadaan yang masih mengantuk, dia membuka pintu kamarnya. Alfie cukup terkejut dengan kehadiran Sinar dan satu lelaki di dalam rumahnya. "Lho Sinar? Kamu kok bisa masuk ke sini?"
"Kunci cadangan Jelita ketinggalan, Om."
"Oh yaudah, sini."
"Sinar bukan cuma mau ngembaliin kunci. Sinar mau ngasih liat hal yang paling Jelita takuti." Sinar berjalan ke depan pintu kamar Jelita yang berseberangan dengan kamar Alfie dan Tisa. Sinar membuka kunci kamar Jelita.
Pintu terbuka, menampakkan Tisa dan Jelita di atas kasur. Dengan keadaan mereka berdua yang sudah acak-acakan. Tisa terkejut ketika pintu terbuka. Dia segera bangun dan berdiri di samping ranjang. Menatap Alfie yang sekarang sedang menatapnya dengan tatapan tak percaya dan kecewa. Sedangkan Jelita terduduk di atas kasur, memeluk kedua kaki yang dia tekuk. Menangis sesegukan. Tak lupa menutup tubuhnya yang terbuka dengan selimut.
Alfie menampar wajah Tisa. Matanya memerah memancarkan amarah. Yang diucapkan Jelita padanya adalah sebuah fakta dan kenyataan. Alfie marah sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Sedangkan Tabah terpaku sejenak sebelum mendekat ke Jelita dan memeluknya. Memberi sedikit kehangatan di tubuh Jelita yang dingin.
"Tabah, maafin aku yang ga bisa jaga tubuh aku. Kamu jijik ya?"
Tabah menggeleng. "Nggak papa, aku gak jijik sama kamu, Je. Aku yang minta maaf karena gak bisa jagain kamu." Tabah membelai rambut Jelita dengan penuh kasih sayang.
"Kamu gak ilfeel sama aku?" tanya Jelita lagi. Isak tangisnya terdengar jelas di telinga Tabah. "Aku gak bisa ilfeel sama kamu, Je."
Tisa tiba-tiba terkekeh. "Alfie, kamu telat buat marah. Anak kamu udah saya pakai tiga kali."
Alfie sekali lagi menampar wajah Tisa. Dia bahkan mendorong wanita itu hingga terbentur tembok. Wajahnya seram sekali. "Kita cerai saja," putusnya. Alfie bahkan tak segan ingin memukul tubuh Tisa yang berani-beraninya memakai tubuh anaknya. Namun belum sempat Alfie memukul, terdengar bunyi sirine polisi. Yang diikuti oleh masuknya para polisi ke dalam kamar Jelita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanjak Teduh
Novela Juvenil[BEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW DULU BARU BISA BACA] "Memang benar ya, Sinar selalu menghangatkan hati Teduh meski dengan cara yang paling menyakitkan. Terima kasih Sinar, selepas semua kegelapan yang datang, kujamin bumimu akan tetap aman."