"Sebuah jeda dalam hubungan itu penting memang. Untuk menghindari segala kebosanan, juga memicu kerinduan. Namun, kalau jedanya terlalu berlebihan, apa wajar untuk diteruskan?"
SANJAK TEDUH"Kok gak ada sih? Masa iya ilang?"
Kara sedari tadi tak berhenti mencari barang di setiap sudut kamarnya hingga membuatnya kamarnya berantakan total. Kara mendesis geram. Dia keluar dari kamar pergi menuju kamar Timon.
"Bang!"
Suara pintu yang dibuka kencang juga panggilan dari Kara membuat Timon yang sedang sibuk menciptakan lagu dengan pianonya terhenti seketika karena keterkejutan.
"Apaan?"
"Lo yang minggu kemarin beresin kamar gue kan?"
Timon mengangguk, memang Timon selalu membereskan kamar Kara yang setiap minggu selalu berantakan. Adiknya yang satu ini benar-benar tak menjaga kebersihan, jadi Timonlah yang harus turun tangan. "Ya, sama-sama. Udah sana pergi, gue lagi sibuk."
"Surat yang gue taro di buku paket gue pake amplop biru, mana? Kok gak ada?"
Timon mengendikkan bahunya, "Kaga tau, lah kok nanya ke gue sih? Gue ga pernah buka-buka buku lo."
"Ya, kan lo yang beresin, siapa tau jatoh gitu. Terus kesapu jangan-jangan. Lo liat gak?"
"Adikku tersayang, udah untung Abangmu yang baik ini mau ngeberesin, malah difitnah, Ya Allah."
"Gak ada yang fitnah lo, gue nanya."
Kara berdecak sebal. Dia membanting pintu kamar Timon sewaktu keluar. Timon mengelus dadanya, "Sabar, itu adik lo bukan serangga, tahan, jangan dipites."
Teladan yang baru saja ingin pergi untuk membeli beberapa persediaan canvas dan cat yang sudah habis tiba-tiba terkesiap mendengar suara bantingan pintu.
"Mau ke mana lo?" tanya Kara.
"Mau belanja, lah, cat primer gue abis."
Kara tiba-tiba mengerutkan dahinya hingga alisnya yang tebal seolah akan bersatu. Kara mendekati Teladan, menatap adiknya bak buronan. "Lo liat surat amplop biru di kamar gue ga? Lo lusa kemarin tidur di kamar gue kan?"
"Anjir A, gue tidur di kasur, bukan di meja lo. Ngapain juga gue ngopenin surat-suratan warna-warni gitu, gak level. Kayak zaman bengen aja lo."
"Gue kemarin liat lo jadiin amplop jadi bahan percobaan campur warna. Lo make amplop surat dari kamar gue ya?"
Teladan menjitak kepala Kara. "Gak jelas lo suudzon mulu jadi orang. Amplop itu amplop bekas uang anjir bukan surat. Gue mah ngoleksi uang bukan surat kayak lo. Udahlah, gue pergi. Bye Aaku yang tukang suudzon."
Kara mendesis. "Awas lo nanti makan malamnya cuma buah aja!"
"Oke, gue udah siap kapan aja buat coret-coret muka lo."
Kara menendang pintu kamar Timon sekali lagi, membuat teriakan dari si pemilik kamar yang Kara anggap sebagai angin lalu. Kara menghela napas dalam. Dia benar-benar kacau hanya karena kehilangan sebuah surat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanjak Teduh
Teen Fiction[BEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW DULU BARU BISA BACA] "Memang benar ya, Sinar selalu menghangatkan hati Teduh meski dengan cara yang paling menyakitkan. Terima kasih Sinar, selepas semua kegelapan yang datang, kujamin bumimu akan tetap aman."