11. Bertemu Antara dan Antari

26.3K 856 57
                                    

"Harapan itu memang indah
Namun, harapan indah itu hanyalah sebuah harapan
Yang tak kunjung menjadi kenyataan."

***

"Tuhan selalu memberikan nikmat yang jarang disadari. Perbanyaklah bersyukur, jangan pernah kufur. Sebab, nikmat yang kamu rasakan bisa hilang kapan saja, dimakan oleh waktu yang terus terlewati."
SANJAK TEDUH

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Maka dari itu, Sinar menyuruh Teduh untuk pulang. Namanya juga Teduh, pasti patuh kalau disuruh perempuan yang tak pernah bisa dilupakannya.

Teduh berjalan menyusuri koridor rumah sakit yang hawanya sangat dingin.  Seketika badannya membeku. Bukan karena dinginnya malam. Namun, karena indra penglihatannya sedang merekam sepasang kembar yang masih belia, seusia anak sekolah dasar sepertinya.

Yang satu berjalan menggunakan tongkat dengan dituntun oleh saudaranya--yang mukanya tampak pucat pasi. Mereka berdua sama-sama tersenyum bahagia satu sama lain, seolah kebahagiaan akan tetap tumbuh disaat semua tidak baik-baik saja.

Sampai anak perempuan yang pucat pasi itu meringis kesakitan seraya memegangi perut kirinya. Membuat saudaranya yang tidak bisa melihat, tapi masih bisa mendengar ringisannya menampakkan wajah cemas tak karuan.

Saat itu mereka tidak bisa lagi menahan kata bahwa mereka sedang tidak baik-baik saja.

"Ri, kamu sakit lagi? Mana yang sakit?" tanya gadis berkuncir kuda dengan tangan yang mencari-cari tubuh saudaranya. Tubuhnya bergetar, seolah menahan tangis ketika mendengar ringisan yang terus terdengar.

Gadis berponi yang digerai panjang tampak meremas perutnya sedang tangan lainnya memegang erat tangan saudaranya. "Ra, aku nggak sekuat kamu. Ini sakit banget." Matanya yang memanas menatap saudaranya, meski dia tau saudaranya tak akan melihat wajah kesakitannya.

"Ayo, ke dokter, Antari."

"Gak bisa Antara, ini sakit banget. Aku nggak kuat."

"Kalau gitu aku yang ke sana, kamu duduk di sini dulu. Aku mau cari dokternya."

Antari menggeleng, tangannya menahan pergelangan tangan Antara yang tadi mulai berjalan. "Nanti kamu kesasar gimana?"

Antara mulai mengeluarkan air mata yang sedari tadi dia tahan. Dia membenci keadaannya. Keadaan yang tidak bisa membuatnya bebas untuk menolong saudara yang selalu menuntunnya setiap saat. "Maaf, Ri, aku lagi-lagi gak berguna buat kamu."

Antari menyeka air mata Antara. Dia ikut menangis. "Ra, maaf. Gak gitu maksudku."

Teduh yang sedari tadi hatinya teriris mendengar percakapan mereka. Akhirnya dia menghampiri mereka berdua. "Kakak antar ke dokter, mau? Kakak gendong."

Antari menatap Teduh, ragu untuk menerima tawaran dari orang yang tak dikenal. Namun, Antara mengangguk cepat. "Kakak baik, tolongin Antari ke dokter. Antari udah kesakitan banget. Kasian," katanya dengan sesegukan.

Teduh jongkok di depan Antari, "Naik, Antari. Kakak gak jahat, Kok."

Antari menurut, mengalungkan kedua tangannya di leher Teduh.  "Makasih, Kak."

Sebelum berjalan, Teduh meraih tangan Antara untuk menuntunnya. Semua mata memandang mereka dengan tatapan curiga pada Teduh. Sebab, Teduh bersama dua anak kecil malang yang keduanya masih menangis sesegukan.

Sanjak TeduhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang