"Setidaknya, sebelum aku pergi meninggalkanmu, aku harus bisa menjagamu dengan baik. Agar nanti, kamu nggak akan terlalu membenci bagaimana aku pergi."
SANJAK TEDUH"Sinar, aku pergi, ya, istirahat biar besok pas bangun udah sembuh."
Teduh mengambil hoodie yang dia taruh di atas meja belajar Sinar. Ini sudah pukul tujuh malam, dia harus pergi ke rumah ayah untuk menepati janji.
"Teduh juga langsung pulang ya."
"Aku mau main ke rumah ayah dulu, Nar."
Sinar yang semula ingin berbaring mengurungkan tindakannya secara spontan. Sorot matanya menatap Teduh dengan khawatir yang bisa dibaca oleh pria ini. Teduh hanya tersenyum seperti biasa, seolah-olah senyum bisa mengusir semua rasa negatif dan juga masalah.
"Tenang, ayah masih anggap aku anaknya, kok."
"Teduh kebanyakan positif thinking juga ga baik. Kan, kamu sendiri yang bilang yang kebanyakan itu gak baik dalam segala hal. Kamu gak bisa keluar dari perkataan kamu tempo lalu."
Bukannya melarang Teduh menemui ayah kandungnya. Cuma, Sinar takut. Takut Teduh sakit hati atau sakit fisik. Sinar ini tipenya orang lain yang disakitin, dia yang trauma.
Dia benar-benar trauma dengan kejadian keluarga Teduh sewaktu SMA dulu. Dia bahkan pernah menyaksikan secara langsung walau sekali. Namun, itu sudah cukup membuatnya trauma bukan main. Apalagi Teduh coba?
"Sekali gak apa. Aku kangen sama ayah, mumpung hari ini hari ayah. Gak usah khawatir berlebihan, semua orang bisa berubah karena punya sisi baik dan buruk masing-masing. Orang tua mana yang gak sayang sama anaknya? Pasti sayang kok walaupun sedikit dan transparan."
"Kalau ada apa-apa, telpon ya?"
"Nggak, kamu harus istirahat. Aku gabakal kenapa-kenapa juga. Nanti pagi kalau udah sembuh, olahraga bareng aja. Setuju?"
"Setuju."
Teduh bergegas pergi, sebelumnya dia sempat tersenyum sekali lagi pada Sinar yang masih mengkhawatirkannya. Sinar memutuskan untuk tidur selepas Teduh pergi, tapi gagal oleh sebuah pesan masuk.
###
Jeumpa
Sinar, ini temen lo kan?
*Sent a picture###
Sinar meneguk saliva dengan berat, langsung memesan gocar saat itu juga. Saat dia berdiri, dia berhenti sejenak waktu. Baru berdiri saja bumi serasa buyar seperti bubur yang tadi siang dia makan.
Setelah sekiranya dia dapat melihat pandangan dengan jelas, Sinar mengambil dua jaket dari lemari. Satu dipakai, satu lagi berada di genggaman. Tak lupa juga mengganti celana yang semula pendek menjadi celana bahan panjang.
Ketika telah mendapat notifikasi dari aplikasi gocar, Sinar berjalan tergesa ke bawah. Jingga dan Rembulan yang sedang menonton siaran televisi di ruang keluarga pun menegur.
"Mau ke mana lo? Lagi sakit juga."
"Sebentar aja Kak, penting banget ini. Dua jam gue balik," pamit Sinar pada Jingga yang sudah berdiri dari duduknya.
"Tapi lo masih sakit, gausah cari penyakit jadi orang."
"Sebentar kak Ya Allah, sebentar."
Rembulan yang sama khawatirnya dengan hingga ikut menceletuk, "Yaudah Kak, biarin aja, kalau besok masih sakit gak usah diurusin."

KAMU SEDANG MEMBACA
Sanjak Teduh
Teen Fiction[BEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW DULU BARU BISA BACA] "Memang benar ya, Sinar selalu menghangatkan hati Teduh meski dengan cara yang paling menyakitkan. Terima kasih Sinar, selepas semua kegelapan yang datang, kujamin bumimu akan tetap aman."