"Tuhan bukannya tidak menjawab doa-doamu. Dia sebenarnya telah menjawab dengan cara yang tak pernah kamu sadari."
SANJAK TEDUHKepulangan yang benar-benar nyaman adalah pulang ke pelukan keluarga, di rumah yang menjadi saksi bisu mereka membesarkan kita, seorang anak.
Namun, bagi Jelita, setelah ibunya pergi selamanya ke sisi Tuhan dan ayahnya memilih untuk menikahi perempuan, yang diam-diam justru menyukainya alih-alih Alfie–ayahnya, dia tidak pernah ingin kembali menetap di rumah itu. Sama sekali tidak menginginkan hari itu tiba.
Meski begitu, seorang suami seperti Alfie yang sudah memiliki istri baru selepas kehilangan istri pertamanya, tidak ingin memutuskan hubungan dengan anak kandun dan satu-satunya. Pagi-pagi buta Alfie datang ke kediaman Aldi untuk menjemput Jelita.
"Ayah, Jelita mau di sini aja," rengek Jelita selagi Alfie membantu mengemasi barang-barang Jelita di kamar Sinar.
"Rumahmu bukan di sini, jangan ngerepotin keluarga orang kalau masih punya keluarga, Je." Alfie menatap lembut Jelita yang memasang wajah masamnya.
Jelita mendengus pelan, menatap Sinar yang sudah di ambang pintu, ingin membiarkan anak dan ayah ini mengobrol berdua. "Nar, emang gue ngerepotin?"
Sinar menghentikan langkahnya. "Kadang."
"Sinar mah!"
Alfie menyahut, "Tuh, 'kan, apa Ayah bilang, lagian selagi Ayah masih ada, masa jauh-jauhan?"
"Ya, tapi Jelita takut sama Tante, Ayah!" pekik Jelita yang sudah membayangkan hal-hal aneh yang akan terjadi nanti.
"Emang Tisa ngapain kamu?"
"Om Alfie, nanti sarapan bareng ya, Sinar mau bantuin Bunda masak dulu," salip Sinar, selepasnya mendapat jawaban, dia kembali berjalan, dan menutup pintu. Membiarkan mereka berdua menyelesaikan masalahnya.
Tadi, sebelum Alfie pergi ke kamarnya, Sinar sudah memberi saran pada Jelita untuk memberitahu apa yang terjadi mengenai Tante Tisa yang melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan padanya.
Sinar sempat tersenyum pada Tisa yang berdiri di depan kamarnya. Ia berjalan ke dapur, memakan cheesecake kesukaannya. "Yah, Kak! Katanya buat gue kok di makan!" pekik Rembulan yang baru saja datang dengan rambut yang masih basah.
"Punya lo punya gue juga. Lagian duit-duit gue."
Rembulan berdecih, kemudian beralih memeluk Handayani yang sedang memasak sarapan. "Nda, nanti beliin cheesecake yang banyak buat Bulan, ya? Sinar gak usah dikasih pokoknya."
Sinar menatap Rembulan dengan ekspresi datarnya. Kebiasaan buruk Rembulan yang seperti ini yang membuatnya kadang tidak ingin memiliki seorang adik. Sinar menarik napas dalam untuk menghilangkan rasa kesalnya. "Nda, Sinar ke luar sebentar ya, ada urusan."
"Gak sarapan kamu, Nar?"
"Tadi, kan udah, sama cheesecake. Kalo laper juga nanti Sinar pasti bakal makan masakan Nda."
"Emang ada urusan apa sih masih pagi gini?"
"Ada lah pokoknya."
"Sebelum pergi, tolong ajak keluarganya Jelita sarapan dulu sana."
"Udah, tadi Sinar juga niatnya ke sini mau bantuin Nda masak, tapi udah ada Rembulan nanti cemburu, susah bocil."
"Ndaaa, Sinar tuh jahat!" rengek Rembulan setelah mendengar ejekan Sinar. "Apasih, gadanta, gue ngomong fakta juga, lo kan emang ngambekan," ucap Sinar. Handayani menggeleng pelan, tangannya memegang kepala Sinar, lalu memukul pelan tangannya yang berada di atas kepala Sinar. "Gak boleh gitu, Kak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanjak Teduh
Teen Fiction[BEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW DULU BARU BISA BACA] "Memang benar ya, Sinar selalu menghangatkan hati Teduh meski dengan cara yang paling menyakitkan. Terima kasih Sinar, selepas semua kegelapan yang datang, kujamin bumimu akan tetap aman."