"Kamu hadir
Lalu membuatku khawatir
Khawatir, jika suatu saat
Kamu akan menyakitiku."***
"Janji ada untuk dua kemungkinan: ditepati atau diingkari. Dalam kasus ini, lihat saja nanti."
SANJAK TEDUHSinar menatap layar ponsel saat sudah tiba di kamar setelah mengadakan party kecil-kecilan bersama keluarga, karena kedua orang tuanya sudah kembali pulih dan dapat pulang ke rumah setelah empat hari dirawat di rumah sakit.
Dan selama empat hari itu, Sinar tak pernah mendapat kabar dari Kama, tak kunjung bertemunya meski Sinar setiap hari selalu mencari Kama di tempat-tempat yang biasa Kama singgahi. Bahkan, ponsel Kama tak bisa dia hubungi, chat di WhatsApp dan Line juga tak kunjung mendapat balasan.
Sinar memutuskan untuk pergi ke rumah Kama sore ini. Sinar mulai berspekulasi sendiri. Mungkin Kama sedang sakit. Biasanya Kama selalu tak pernah mau mengatakan kalau dirinya sedang tidak enak badan.
"Bun, Pa, Sinar mau ke rumah Kama bentar ya."
Sinar menyalami kedua orang tuanya yang sedang menonton televisi di ruang keluarga bersama Rembulan. Kalau kak Jingga, sih,ctadi sudah pergi ke rumah calon suaminya.
"Bawa Kama ke rumah, Nar, kalau bisa. Udah lama gak ngobrol sama pacarmu," pinta Aldi.
"Eh iya, kok Kama gak pernah jenguk Bunda sih, Nar? Kama baik-baik aja, kan?"
Sinar mengatupkan kedua bibirnya, semula bingung harus berkata jujur atau bohong. Dia mengendikkan bahunya pertanda tak tahu. "Ini Sinar mau ke rumah Kama, mau tau keadaan dia baik-baik aja atau nggak, Bunda." Sinar memilih untuk berkata sejujurnya, dia takut untuk berbohong pada orang tuanya.
Rembulan mengernyit. "Emang dia gak ada hubungin lo gitu? Katanya pacar, gimana sih. Gak jelas amat hubungan lo akhir-akhir ini."
"Heh bocil, pacaran nggak harus dua empat per tujuh saling ngabarin, kalau ada alasan tertentu."
"Halah, dia aja nggak ngasih tau alasan gak ngabarinnya. Putus kek sono, gak bosen apa?"
"Rembulan, lidahnya mau Papa potong?"
Rembulan tersentak mendengar pertanyaan Papanya. Sedangkan Sinar memeletkan lidahnya, mengejek. "Potong aja Pa, tambah hari tambah dusun ngomongnya tuh anak!"
"Papa mah jahat sama Bulan! Bunda, Papa jahat! Hukumin!" rengek Bulan pada Handayani yang terkekeh geli. "Papa bercanda itu sayang, lagian kamu ngomongnya ga difilter, kamu sebentar lagi lulus lho, Lan."
"Bunda mah! Kan, Bulan terus yang salah! Papa sama Bunda sayangnya cuma sama kak Sinar doang! Gak sayang sama Rembulan. Kesel!" sentak Bulan, dia berlari masuk ke kamarnya.
"Bulan, gak gitu sayang," sanggah Handayani, dia berjalan menyusul Rembulan yang sudah ngambek level kesetanan.
Aldi menggelengkan kepalanya, ikut berdiri. Sebelum pergi ke kamar Rembulan, Aldi sempat mengelus surai hitam Sinar yang sedari tadi terkekeh tak henti.
"Hati-hati, Nar. Naik gojek, kan?"
"Iya Pa, siap! Sinar bakal pulang dengan selamat ke pelukan Papa," jawab Sinar seraya memeluk tubuh Aldi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanjak Teduh
Teen Fiction[BEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW DULU BARU BISA BACA] "Memang benar ya, Sinar selalu menghangatkan hati Teduh meski dengan cara yang paling menyakitkan. Terima kasih Sinar, selepas semua kegelapan yang datang, kujamin bumimu akan tetap aman."