17. Masih Abu-Abu

23.4K 670 25
                                        


Aku pernah berada di titik aku ingin melepaskanmu tapi egoku ingin tetap mempertahankanmu.
SANJAK TEDUH

Sinar berjalan di lorong koridor rumah sakit sendirian. Memeluk tubuh yang dilapisi jaket milik Kama yang diberikan sebelum Sinar pergi. Di sepanjang lorong, pikiran Sinar berputar-putar, mengingat ucapan dokter sore tadi.

"Benturan yang sangat keras di kepala Jeumpa menyebabkan retaknya tulang telinga atau pecahnya gendang telinga. Kedua kondisi ini yang menyebabkan sinyal suara gagal mencapai otak, sehingga dia tidak bisa mendengar."

Setelah Jeumpa diberi obat bius untuk diperiksa, Sinar memutuskan untuk pulang saja. Membiarkan Kama tetap menjaga Jeumpa, mengingat tak ada satupun keluarga yang Jeumpa miliki.

Sinar jadi merasa bersalah pada Jeumpa karena perkataannya tempo lalu di kantin. Tak seharusnya Sinar berucap seperti itu pada Jeumpa yang jelas-jelas butuh ditemani Kama.

"Jeumpa, maaf."

Kalau dilihat dari tatapan Jeumpa pada Kama, Sinar jadi berprasangka kalau Jeumpa masih memiliki rasa. Seketika Sinar ingin Kama kembali pada Jeumpa. Namun, sedetik kemudian Sinar menepis jauh pikirannya.

Sinar pulang dengan berjalan kaki. Berjalan seraya memikirkan banyak hal di malam hari adalah hal yang dulu—sewaktu SMA sering dia lalukan sepulang sekolah bersama Teduh. Sudah bertahun-tahun tak pernah berjalan kaki jauh, kaki Sinar terasa lumayan pegal.

"Sinaaaaarrrrr!" teriak Jelita ketika Sinar baru saja memasuki rumah. Sinar hanya menatap Jelita tanpa bicara. Matanya seolah berkata dia tidak ingin diganggu malam ini.

Jelita yang semula ingin memberitahu kabar gembira langsung mengurungkan niatnya. "Lo kenapa, Nar?"

"Gak kenapa-kenapa."

Sinar memasuki kamarnya. Langsung membaringkan diri di atas kasur tanpa mengganti baju dan melepas jaket milik Kama. Jelita ikut berbaring di sebelah Sinar.

"Lo gak mau cerita ke gue, Nar?"

"Cerita apa? Gak ada yang perlu diceritain, kok, Jel. Gue mau tidur."

"Sejak kapan seorang Sinar bohong? Biasanya Sinar takut kalau disuruh bohong."

"Lo gak tau aja, Jel." Setelah berucap satu kalimat yang menjadi tanda tanya bagi Jelita, Sinar memeluk guling dan terlelap. Menghilangkan berbagai prasangka barang sejenak.

"Ya, justru karena gue gatau gue nanya. Lo gak bisa tertutup gini setiap ada masalah. Lo gak bisa menganggap gak ada orang yang gak peduli sama lo kalau lo nya aja gak mau dipeduliin kayak gini. Cerita, Nar. Jangan bikin orang berpeskulasi sendiri. Nanti bisa salah faham lagi. Lo gak belajar dari kesalahfahaman kita waktu dulu? Lo sendiri yang bilang ke gue kalau gue ada masalah harus cerita ke lo. Tapi lo malah ngelakuin sebaliknya."

"Jel, please, kasih gue waktu. Gue butuh waktu buat cerita. Dan waktu yang tepat itu bukan sekarang," sahut Sinar dengan mata yang masih tertutup rapat.

***

Teduh meringis kesakitan. Lagi-lagi seluruh badannya bak dihantam benda berat. Teduh melihat ruam biru di bahunya. Dia terheran, sebab dia tak pernah melakukan suatu hal yang membuat pundaknya ini terhantam benda keras hingga tercetak ruam biru seperti ini.

Akhir-akhir ini pun dia sering mengalami kram otot. Dan demam di malam hari, hanya malam hari ketika dia ingin tidur seperti saat ini. Setelah bangun di pagi hari pasti akan sehat kembali.

Tak bisa tidur lagi, akhirnya Teduh memutuskan untuk berkutik dengan revisi skripsinya yang kemarin dicoret abis-abisan oleh dosen pembimbing. Dengan berusaha mengabaikan rasa sakit di seluruh tubuhnya, Teduh mencoba fokus untuk mengerjakan tugas akhir karena ingin mencapai sebuah target : lulus tiga setengah tahun.

Sanjak TeduhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang