BAB 7

840 52 1
                                        

Ada saat dimana aku ingin berteriak sekencang-kencangnya dan mengatakan bahwa aku benci kamu!

***

Meyla menahan senyum ketika melihat Revan berjalan dari arah parkiran. Wajahnya yang datar itu tak menghilangkan aura ketampanan yang dimilikinya.

Meyla terlihat sedikit salah tingkah. Bagaimana tidak, ia berdiri didepan pintu kelasnya, bersama Sisil yang sedang memainkan handphonenya sambil menunggu Erin yang belum datang. Jika Meyla masuk apakah Sisil akan curiga?

Tapi mungkin ini waktu yang tidak tepat untuk memikirkan bagaimana reaksi Sisil. Mengingat jarak Revan yang semakin dekat. Jadi Meyla putuskan dia akan masuk kelas saja tanpa memberitahu Sisil.

"Hai, Sil," sapa Revan ketika cowok itu sudah sampai dihadapan Sisil.

"Eh, hai juga, Van?" Sapa gadis itu balik setelah mengalihkan perhatiannya dari handphone.

"Sendirian?"

"Nggak, sama Mey---, loh? Meyla mana? Kok nggak ada? Wah, ditinggal dong gue daritadi kayak orang ilang," ucap Sisil sambil bergumam kesal tiada henti memasuki ruang kelasnya tanpa berpamitan dengan Revan.

Revan, cowok itu mengedikkan bahunya, mencoba cuek dengan tingkah Sisil yang memang sudah dikenalnya dari dulu seperti itu.

Cowok itu kemudian melanjutnya perjalannya menuju kelas. Mencoba mengabaikan dan biasa saja ketika menyadari banyak sekali cewek yang secara malu-malu melirik kearahnya.

***

"Sumpah ya, gue kesel banget sama lo, Mey!"

"Gue itu tadi udah kayak orang gila tahu senyum-senyum sendiri didepan gara-gara liat cogan-cogan di-instagram. Eh, elo nya malah masuk ninggalin gue sendirian. Untung aja tadi ada Revan. Walaupun gue malu banget karena kepergok kayak orang gila didepan,"

Meyla meringis merasakan telinganya yang sepertinya mulai harus diperiksakan kedokter karena mendengar ocehan kekesalan Sisil. Sedangkan Erin yang sedang duduk tanpa minat mendengar ocehan Sisil hanya menggelengkan kepalanya.

"Ya, sorry, Sil," Meyla hanya bisa meminta maaf sambil membujuk Sisil agar tidak kesal lagi padanya. Sungguh, jika tidak ada Revan tadi, dirinya tidak akan meninggalkan Sisil diluar sendirian.

"Iya, iya. Jangan diulangin lagi. Lagian kenapa sih, lo tiba-tiba masuk gitu aja. Kayak liat raksasa nongol dari gerbang aja," ucap Sisil

"Meyla mah, bukan lihat raksasa, Sil. Tapi lihat Revan," ucapan Erin barusan membuat Meyla membulatkan matanya. Kenapa bisa?

"Revan?" Sisil mencoba mencerna apa yang dimaksud oleh Erin. Apa hubungannya Revan dengan Meyla yang meninggalkannya sendirian diluar tadi? Apa Meyla...

"Meyla suka sama Revan?" Teriak Sisil.

Dengan cepat Meyla merutuki ucapan Sisil yang kelewat keras. Untung saja keadaan kelas sedang ramai sehingga kemungkinan teman-teman sekelasnya mendengar ucapan Sisil sangatlah kecil. Jika tidak, bisa gawat ketenangan Meyla. Mengingat banyak sekali penggemar seorang Revan disekolah ini.

"Lo kalo ngomong sembarangan aja!"

"Halah, bener juga Sisil ngomongnya," tambah Erin

"Ish,"

Erin kemudian terbahak melihat ekspresi Meyla yang sudah kesal setengah mati. Terlalu lebay memang. Tapi pipi Meyla sekarang bersemu merah karena baru saja Revan lewat didepan kelasnya lagi dan tanpa sengaja menatap kearahnya.

***

Sore ini adalah sore yang melelahkan. Siang tadi Meyla tidak sempat makan siang karena harus belajar untuk ulangan matematika yang menurutnya sangat susah itu. Dia rela memakai waktu makan siangnya demi matematika. Tapi sayangnya, matematika adalah pelajaran yang tidak tahu diri, sudah diperjuangkan malah hasilnya ia tidak bisa mengerjakan soal-soal itu.

'Sial' umpatnya.

Lihatlah sekarang, perutnya terasa sangat lapar. Ditambah lagi ia harus menunggu jemputan mamanya kesekolah. Itu sangat membutuhkan waktu yang lama.

"Hai, Mey?"

Meyla menengang. Apakah dia?

"Re-Revan?"

"Lo belum pulang?" Tanya Revan.

'Belum. Boleh nebeng nggak' ucapnya dalam hati.

"Belum. Lagi nunggu mama,"

"Ohh, kalo gitu, gue duluan ya? Udah ditunggu temen gue diparkiran," ucap Revan yang kemudian telah melangkah lebih dulu tanpa mendengar persetujuan Meyla. Ya, setidaknya Revan harus membiarkan Meyla menjawab ucapan Revan barusan kan?

"Mimpi apa gue semalem?" Lirihnya. Ia sangat senang karena pada akhirnya ia bisa bercakap dengan Revan meskipun hanya beberapa kalimat saja. Namun bukankah itu lebih dari cukup untuknya?

"Elah, ngapain lo senyam-senyum sendiri?" Vina muncul dari belakang Meyla. Membuat gadis itu sedikit terkejut dengan kehadiran Vina.

"Ngagetin aja lo, Vin!"

"Ngapain, sih?"

"Nggak, bukan apa-apa"

Vina menatap penuh selidik kearah Meyla, "Revan ya?"

"Ha? E-enggak. Apaan sih lo?"

"Halah, ngaku aja lo! Lo suka kan sama Revan?"

"Apaan sih lo!"

"Cieeeee,"

"Ck. Udah deh, Vin,"

Vina terbahak melihat Meyla yang salah tingkah karena ia menggoda cewek itu.

"Ngomong-ngomong soal Revan, dia ternyata orangnya nggak sedingin yang gue lihat lho. Kalo dia ngechat gue, dia seru sih,"

"Oh ya?" Tanya Meyla seakan tidak percaya.

"Iya," jawab Vina

"siapa yang lebih banyak nanya?"

"Revan,"

Segitu dekatkan Vina dan Revan? Jika Revan tidak ada perasaan apa-apa dengan Vina, dan hanya menganggap Vina teman biasa seperti dirinya, lalu mengapa cara Revan mengirimkan pesan antara dirinya dan Vina sangatlah berbeda?

Revan dan Meyla, Meyla lah yang sering bertanya. Sedangkan Vina dan Revan, justru Revan yang sering bertanya.

Meyla cemburu? Iya.

***

Jangan lupa vote dan komentarnya guys....😂

DISAPPOINTED [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang