Orang bilang, "Cobalah mengatakan yang sesungguhnya kepada orang yang kamu suka. Apapun yang terjadi nanti, setidaknya kamu sudah mencoba untuk mengutarakan isi hatimu!"
Dan sekarang, aku sedang berusaha melakukannya.
***
Revan menghela nafas. Berada di dalam kamar nampaknya bukan berarti Revan bisa tenang ketika tidur. Lagi-lagi kedua adiknya itu membuat keributan di luar. Dan pasti keduanya tidak ingin saling mengalah.
Revan menarik nafasnya dalam-dalam. Ia tidak bisa tidur jika seperti ini. Orang tuanya sedang pergi ke luar meninggalkan kedua adiknya bersama Bayu.
Revan bahkan sempat mendengar mama memberi komando kepada Bayu untuk menjaga kedua adiknya. Tetapi, kemana kakaknya itu pergi sekarang? Mengapa kedua adiknya terdengar sangat ribut?
Revan kemudian bangkit dari tempat tidurnya. Berjalan keluar untuk memeriksa keadaan kedua adiknya.
Benar saja, disaat Revan membuka pintu kamarnya, kedua adiknya itu sedang bertengkar memperebutkan barang yang Revan ketahui itu adalah alat tulis yang sedang dipakai Davin untuk mengerjakan tugasnya.
"Ada apa, sih?"
"Kak!"
Revan tidak menemukan keberadaan kakaknya itu. Dimana dia sekarang. Dengan santainya malah menghilang meninggalkan kedua adiknya yang sedang bertengkar.
"Davin, ada apa? Kenapa ribut, sih?"
"Kak, itu Revo ambil pensil aku. Aku mau ngerjain pr," adu Davin pada Revan.
"Ck. Rev, jangan gitu. Ayo, kembaliin. Kak Davin mau buat pr,"
"Nggak mau!" Jawab Revo
"Ihhh, tuh kan, Kak!" Ucap Davin yang mulai merengek.
Revan menghela nafas, "Udah, biarin. Nanti kak Revan pinjemin pensil, ya. Udah, jangan ribut lagi,"
Akhirnya, Davin mengangguk dan mulai merelakan pensilnya untuk Revo.
Revan menghela nafas lega. Cowok itu lalu berbalik. Ia sedikit terkejut ketika mendadak Bayu sedang berdiri di belakangnya.
"Kemana aja, sih?" Tanya Revan.
"Ada apa, sih?"
"Noh, si Revo ngrebut pensilnya Davin," ucap Revan.
"Ohhh, gue ke kamar mandi tadi. Tapi udah beres, kan?"
"Udah,"
"Pinter adik gue," ucap Bayu sambil tersenyum. Sedangkan Revan sudah menatap kakaknya itu dengan kesal.
***
Malam itu, Meyla berbaring dikasurnya sambil sesekali membolak-balikkan badannya.
Meyla gelisah. Memikirkan ucapannya sendiri tentang ia yang berencana untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Revan. Meyla tidak tahu, apakah ia bisa melakukannya atau tidak.
Thalita mengatakan bahwa jujur itu lebih baik. Meyla pun mengiyakannya dalam hati. Ia pun tidak ingin menghindari masalah ini terlalu lama. Jangan sampai ia terlalu jauh melangkah yang nantinya akan membuatnya kerepotan sendiri.
Teman Meyla yang lain juga mengatakan bahwa jujur kepada Revan itu lebih baik. Hanya saja, mereka selalu mengatakan apakah Meyla sendiri berani untuk mengakuinya?
Benar. Meyla sendiri masih ragu dengan keputusannya itu. Ia belum siap dengan apa yang akan terjadi nantinya. Yang Meyla sadari, pasti sesuatu yang lebih buruk akan terjadi.
Meyla menatap layar ponselnya. Menekan beberapa tombol, lalu dilihatnya nama Revan dilayar ponselnya itu.
Meyla menimang-nimang beberapa kemungkinan yang akan terjadi nantinya. Pendapat teman-temannya, dan juga mengenai pemikirannya sendiri. Meyla tidak ingin salah langkah.
Meyla : Gimana ya, Ta? Menurut lo, apa gue harus bilang sekarang?
Meyla menghela nafas. Sembari menunggu balasan dari Thalita, gadis itu kembali memikirkan keputusannya.
Jika dipikir-pikir, Meyla sudah lelah dengan semua ini. Menyembunyikan perasaannya dari Revan lama kelamaan membuatnya sangat lelah. Apalagi dengan melihat sifat Revan yang malah semakin berubah terhadapnya. Entahlah, mungkin Meyla yang terlalu egois menanggapinya, dengan mengharapkan semuanya baik-baik saja, termasuk Revan.
Thalita : Terserah lo, sih. Kalo masalah pengen cepet selesai, ya lebih baik lo bilang ke Revan.
Meyla : Tapi gue harus bilang apa?
Meyla menghela nafas. Ia sangat bingung sekarang. Apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak.
Thalita : Ya, lo jujur ke Revan. Lo tanya ke dia kenapa sikap dia jadi berubah ke lo. Trs kalo bisa sekalian lo jujur tentang perasaan lo ke dia.
Meyla menghela nafas lagi. Thalita benar. Selama ini, masalahnya tidak kunjung selesai karena Meyla yang tidak pernah bisa jujur tentang perasaannya sendiri. Meyla yang terlalu lama menyimpan perasaannya sendiri, berharap bahwa suatu saat Revan akan sadar akan perasaannya.
Dan saat Meyla menyadari bahwa sepertinya Revan sudah mengetahui tentang perasaannya, malah semua itu membuat Meyla uring-uringan dan bingung harus bersikap bagaimana.
Meyla : Oke, gue bakal jujur ke Revan
Thalita : Bagus, gue tunggu.
Meyla mengatur nafasnya. Sejujurnya ia sangat takut mengatakan semuanya kepada Revan. Melihat nama cowok itu diponselnya saja sudah membuat Meyla gugup. Apalagi, jika ia harus mengatakan semua itu.
Meyla menghela nafasnya untuk kesekian kalinya. Jari-jarinya kemudian mulai menari diatas layar ponselnya. Menuliskan beberapa kata yang menggambarkan perasaannya selama ini.
Meyla : Van,
Meyla : Van, gue tahu, mungkin pesan gue nggak penting buat lo. Tapi, ini sangat penting buat gue. Jadi, gue harap lo baca ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
DISAPPOINTED [Completed]
Roman pour Adolescents"Akan aku ceritakan bagaimana rasa sakit ini dimulai," Cover illustration from Pinterest