Cemburu itu ketika melihatmu dekat dengan yang lain, namun tidak memiliki hak untuk mengutarakan.
***
Hari senin. Hari yang menurut sebagian besar pelajar sangat membosankan. Selain karena harus kembali ke sekolah setelah akhir pekan, namun juga karena di hari senin, mereka harus melaksanakan upacara bendera.
Meyla telah bersiap di barisannya. Menatap gurunya yang sudah berdiri di tengah lapangan untuk memberi arahan kepada siswanya untuk berbaris dengan rapi.
Menengok kebelakang, mata Meyla tak sengaja menangkap sosok Revan yang baru saja datang dari belakang. Cowok itu sudah terlihat baik-baik saja.
Revan berjalan untuk maju ke depan barisan, segera Meyla memutus pandangannya dan membalikkan badannya mengarah ke depan.
"Nah, itu si Revan. Dia udah masuk,"
"Hm, iya,"
Meyla mendengar percakapan teman sekelasnya tentang Revan. Teman sekelasnya itu nampak berbicara lebih lanjut dengan Rena, yang Meyla ketahui mereka adalah teman sekelas Revan waktu kelas 10.
Meyla terdiam. Lalu tak sengaja menatap luka ditangan kiri Revan yang sudah mengering. Dalam diam Meyla bersyukur karena Revan baik-baik saja.
***
Meyla berjalan menuju kelas sambil memeluk mukena yang berada ditangannya. Disampingnya ada Thalita yang mengoceh entah apa yang pasti hal tersebut membuat Meyla tertawa.
Pandangan Meyla mendadak terkejut. Senyum dan tawa yang sedari tadi terukir dibibirnya nampak sirna setelah melihat Revan sedang mengobrol dengan seseorang yang diketahuinya bernama Rena, anak paskibra yang menurut Meyla dekat dengan Revan.
Sambil melewati kelas Revan, pandangannya tak lepas dari Revan dan Rena. Sedih rasanya melihat orang yang kita sukai sangat akrab dengan orang lain, tetapi seperti orang asing dengan kita.
Meyla hanya bisa menghela nafasnya. Lalu melangkahkan kalinya memasuki ruang kelasnya. Ingin rasanya Meyla berteriak. Mengungkapkan bahwa ia iri dengan Rena yang bisa sedekat itu dengan Revan. Sedangkan dirinya, meskipun lebih lama mengenal Revan, sikap cowok itu tidak pernah bisa sama.
***
Hujan mengguyur begitu deras sore itu. Bertepatan dengan jam pulang sekolah, hingga membuat siswa siswi enggan untuk pulang menerobos hujan.
Revan keluar dari kelasnya. Menatap hujan yang turun dengan tatapan datar sendunya. Jika seperti ini, Revan tidak bisa jika harus menerobos hujan agar bisa pulang secepatnya.
Cowok itu menghela nafas. Hujan semakin deras. Udara semakin dingin, Revan memutuskan untuk memakai jaket hitamnya yang sedari tadi bertengger ditangan kirinya.
"Nggak bisa pulang kalo gini mah," Dion muncul dari belakang Revan.
"Iya, nih"
Revan menghela nafas untuk kesekian kalinya. Matanya lalu mengarah pada kelas Meyla yang nampak sepi. Namun beberapa saat kemudian menjadi ramai ketika anak-anak cowok keluar secara bersamaan.
Ngomong-ngomong soal Meyla, gadis itu kini tidak menghubunginya sesering dulu. Hanya saat dirinya kecelakaan kemarin, itu adalah pesan terakhir Meyla sampai hari ini.
Revan tidak mau ambil pusing dengan sikap Meyla tersebut. Bukan urusannya juga mengapa Meyla tidak menghubunginya lagi. Bukan juga suatu keharusan jika Meyla menghubunginya setiap hari.
Disisi lain, Meyla yang baru saja keluar dari kelas, dikejutkan dengan Revan yang sedang menatap kearahnya. Tatapan sederhana yang membuat Meyla gugup minta ampun.
Meyla bingung harus bagaimana. Disisi lain dia juga harus tetap bersikap normal agar Revan tidak menyadari sikapnya ini.
"Eum, Ta,"
Thalita menoleh. Gadis dengan jaket yang telah melekat ditubuhnya sejak beberapa menit yang lalu itu menghadap Meyla, "Kenapa?"
"Besok ada tugas?"
"Nggak tahu, lupa," jawab Thalita diikuti dengan cengirannya.
"Lah,"
Meyla melirik sekilas kearah Revan. Gadis itu lalu bernafas lega ketika Revan sudah pergi dari tempat tersebut. Untunglah.
"Kenapa, sih?" Tanya Thalita bingung
"Eum, nggak papa,"
***
Revan meletakkan tasnya dikursi. Gerimis yang masih mengguyur saat dia berada diperjalanan, membuat jaketnya sedikit basah. Jika mamanya tahu, maka setidaknya ia akan diberi wejangan karena tidak mau memakai jas hujan.
Revan merebahkan tubuhnya di kasur, memejamkan matanya dan mengabaikan adiknya yang sedang ribut. Entah dimana Bayu berada sehingga adiknya bisa ribut satu sama lain seperti itu.
Revan menghela nafas. Jika seperti ini pasti adiknya tidak mau mengalah satu sama lain. Biasanya jika seperti ini, Bayu pasti melerainya dan membawa salah satunya pergi. Tetapi sekarang, pasti cowok itu sedang tertidur pulas di kamarnya.
"Van, tolong itu adiknya, mama mau masak,"
Benar. Suara mama pasti akan menggema dan menyuruhnya melerai kedua adiknya. Revan akhirnya dengan terpaksa bangkit dan menghampiri adiknya.
"Udah dong, jangan ribut,"
"Kak, itu Revo ngerebut cokelat aku," Davin merengek karena cokelatnya direbut oleh adiknya-Revo.
"Ck. Revo, cokelatnya kembaliin ke kak Davin,"
"Enggak mau," jawab Revo dengan santai
"Ihhh, mama!" Davin mulai merengek.
Revan tidak tahu harus bagaimana. Ia sangat tidak terbiasa mengurus adik-adiknya seperti ini. Karena biasanya mamanya atau Bayu yang mengurusnya.
"Revo, jangan nakal. Ayo, kembaliin ke kak Davin. Nanti kakak belikan buat kamu,"
"Nggak mau," ucap Revo lalu mulai membuka bungkus cokelatnya.
"Revo!" Davin berteriak ketika adiknya itu mulai memakan cokelat miliknya.
"Udah, Davin. Ngalah dong," ucap Revan
"Tapi kan itu cokelat aku,"
"Nanti kakak beliin lagi,"
"Nggak mau. Revo, ih"
Revan menghela nafas. Lalu, melepaskan genggaman tangannya pada Davin. Dan sekarang adiknya itu mulai merebut cokelat yang masih tersisa dari tangan Revo.
Suara berisik adik-adiknya pun mulai menggema. Mama sampai berteriak dari arah dapur agar Revan menenangkan kedua adiknya itu. Revan bahkan harus menghela nafas berkali-kali karena frustasi harus bagaimana lagi menenangkan kedua adiknya. Davin yang tidak ingin mengalah kepada adiknya hanya karena sebuah cokelat.
"Apaan, sih, Van?"
Bayu muncul dari pintu kamarnya. Mengucek mata yang masih mengantuk namun terpaksa bangun karena suara berisik dari ruang keluarga.
Mata Bayu membulat, "Van, lo gimana, sih. Adiknya lagi berantem lo malah bengong gitu!"
Bayu lalu menghampiri Davin yang masih gencar memperjuangkan cokelatnya yang masih tersisa. Cowok itu meminta cokelat yang dipegang Revo dengan sabar hingga Revo mau memberikannya.
Bayu tersenyum. Menatap kedua adiknya, lalu membagi cokelat yang tersisa itu menjadi dua bagian dan memberikannya kepada Davin dan Revo.
"Nah, udah kan? Kalo gini kan adil," ucap Bayu.
Davin tersenyum walau awalnya sedikit tidak rela. Sedangkan Revo tentu saja tersenyum dengan manisnya. Revo lalu duduk sambil memakan cokelatnya, sedangkan Davin pergi keluar rumah.
"Gimana, sih, lo. Ngurusin gitu aja nggak bisa. Gimana nanti lo kalo punya anak?" Ucap Bayu lalu meninggalkan Revan dan kembali ke kamar untuk tidur.
"Sial,"
KAMU SEDANG MEMBACA
DISAPPOINTED [Completed]
Teen Fiction"Akan aku ceritakan bagaimana rasa sakit ini dimulai," Cover illustration from Pinterest