"Mengharapkan perhatianmu seperti menggenggam angin. Keberadaannya terasa, namun hampa di tangan"
***
Revan keluar dari kelasnya. Menatap sekelilingnya. Siswa siswi sudah berhamburan keluar kelas menuju kantin. Begitupun teman sekelasnya yang mayoritas sudah hilang dari bangkunya. Menyisakan beberapa orang dan dirinya yang kini sudah keluar.
Revan menatap teman-temannya yang sudah berada di kelas Dion. Mereka terlihat asik membicarakan sesuatu. Sampai pada akhirnya dia menghampiri mereka dengan wajah yang tetap cool.
***
Meyla mendadak murung. Kepalanya pusing. Dan dia tidak nafsu makan. Setelah olahraga tadi, tiba-tiba keadaannya seperti ini. Ya meskipun kemarin dia sudah merasakan demam. Tetapi dia memutuskan untuk tetap sekolah karena ia merasa sudah baikan. Tetapi entah mengapa setelah dia lari beberapa kilometer, demamnya kembali melanda.
Meyla menenggelamkan wajahnya dilipatan kedua tangannya. Ia bahkan tidak kuat untuk mengangkat kepalanya. Rasanya sangat panas didalam tubuhnya.
"Mey, serius, mending lo ke UKS deh. Muka lo pucet banget,"
Meyla memandang Sisil dengan tetap tersenyum. Pandangannya terlihat sayu. Matanya berair dan Sisil menyadari itu. Gadis itu nampak khawatir dengan keadaan Meyla.
"Rin, Meyla nggak mau ke UKS," Sisil berteriak, memanggil Erin yang tengah menempelkan beberapa kertas di mading.
Erin yang merasa ikut khawatir, menghampiri Meyla dan ikut membujuk Meyla agar mau pergi ke UKS.
"Ayolah, Mey. Nggak usah keras kepala. Lo harus ke UKS. Istirahat. Biar sembuh. Muka lo pucet banget,"
Meyla menghela nafas. Ia menyerah dan akhirnya mengikuti ucapan kedua sahabatnya. Ia pergi ke UKS dengan diantar oleh Erin dan Sisil.
***
Revan berdiri di depan pintu kelasnya. Sambil menunggu temannya yang sedang piket, cowok itu memutuskan untuk mengecek handphonenya.
Seperti biasa, ia akan mengabari kakaknya kalau ia sudah keluar dari kelas dan akan menunggu di gerbang sekolah. Dengan cepat kakaknya membalas pesan Revan dan memintanya untuk menunggu sebentar.
"Van, lo udah kabarin kakak lo?" Gino bertanya setelah menepuk pundak sahabatnya.
"Udah. Gue nunggu dia digerbang,"
"Yaudah, yuk?"
Revan dan Gino kemudian meninggalkan kelas mereka. Revan yang akan menunggu kakaknya, sedangkan Gino akan pergi keparkiran sekolah.
***
Meyla menatap Revan dengan tatapan sendu. Cowok itu bahkan tidak berkata apapun ketika melihatnya keluar dari kelas. Padahal sebelumnya Meyla sengaja mengkode Revan dengan mengatakan bahwa ia sedang sakit di media sosial. Okey, mungkin ini sedikit lebay. Tapi tetap saja, jangankan memberi ucapan agar cepat sembuh, Meyla yakin bahwa pasti cowok itu bersikap biasa saja.
Hey, kenapa Meyla mempermasalahkan itu? Tentu saja Revan terlihat biasa saja. Lagipula Meyla juga bukan siapa-siapa Revan. Untuk apa Revan merasa khawatir dan memperdulikan Meyla?
Meyla menghembuskan nafasnya. Kepalanya masih terasa pening sampai-sampai ia merasa ingin pingsan. Melewatkan begitu banyak pelajaran hari ini. Membuat kepalanya serasa ingin pecah.
"Ayo, Mey, gue anter lo pulang!" Nindy muncul dari belakangnya. Sembari membawa payung gadis itu bergeser mendekati Meyla.
"Ayo, gue dijemput. Biar nanti gue nganterin lo pulang dulu," tawarnya lagi
"Nggak papa, nih?"
"Santai aja, yuk?"
Meyla mengikuti langkah Nindy yang berjalan sambil memayunginya. Tak lupa gadis itu merangkul Meyla agar mendekat dan tidak kehujanan.
Nindy adalah teman sekelas Meyla. Meskipun tidak seakrab Erin dan Sisil, karena Meyla mengenal Nindy baru saat dia masuk SMA. Tetapi sejauh ini, Meyla mengenal Nindy sebagai sosok teman yang baik. Saat berbicara dengan Nindy pun, Meyla merasa sangat cocok.
***
Jangan lupa vote dan komentarnyaa....
KAMU SEDANG MEMBACA
DISAPPOINTED [Completed]
أدب المراهقين"Akan aku ceritakan bagaimana rasa sakit ini dimulai," Cover illustration from Pinterest