BAB 18

699 37 2
                                    

Aku benci setiap kali harus mengingatmu. Karena yang aku dapatkan hanyalah rasa kecewa.

***

Kata orang, sesuatu yang sudah tidak dapat diperjuangkan, lebih baik untuk dilepaskan.

Mungkin kalimat tersebut sangat sesuai dengan perasaan Meyla saat ini. Sejak awal, perasaannya hanyalah sebatas angan saja. Lalu, angan itu terbang bersama angin hingga membuat Meyla tidak dapat menghentikannya.

Sejak lama, Meyla berulang kali mundur dan mencoba untuk melupakan Revan. Namun, sesering Meyla mencobanya, maka sesering itulah tanpa sengaja Revan hadir dan seperti melarangnya untuk pergi.

Meyla benci ketika harus berulang kali mengakui bahwa dirinya kalah, lalu berulang kali berkata bahwa ia akan pergi. Namun, secepat badai yang menerjang, secepat itulah sikap Revan berubah hingga membuat Meyla mengurungkan niatnya untuk pergi.

Melya tidak tahu permainan apa yang sedang dimainkan takdir untuknya. Menarik ulur perasaannya, hingga ia memutuskan untuk pergi dan kembali dalam waktu yang bersamaan.

***

Meyla bergedik ngeri ketika Thalita tiba-tiba saja tertawa sendiri sambil menatap layar ponselnya. Bahkan, teman sebangku Thalita sampai mengerutkan keningnya melihat kelakuan teman sebangkunya itu.

"Lo kenapa, sih? Ngeri gue lihatnya!" Ucap Meyla.

Teman sebangku Meyla yang bernama Disa yang sedari tadi sibuk menghitung jawaban soal matematikanya tiba-tiba menoleh kearah Meyla sejenak, lalu beralih ke Thalita yang berada di belakangnya.

"Kenapa, sih?" Tanya Disa.

"Itu, masak si Thalita ketawa sendiri," ucap Meyla.

"Alah, biasa. Kadang-kadang waktu pelajaran dia sering kesel sendiri, trs ketawa sendiri, kayak tadi gitu," jelas teman sebangku Thalita

Thalita yang mendengar protes ketiga temannya itu hanya nyengir tanpa dosa, "Habisnya seru tahu ceritanya,"

"Ya nggak gitu juga kali," ucap Meyla

"Heleh, kayak lo nggak aja, Mey! Lihat gambar ice bear aja ngakak!" Ucap Disa.

Meyla terkekeh, "Tahu aja lo!"

Disa menggelengkan kepalanya. Gadis itu lalu beralih pada tugas matematikanya yang sempat tertunda karena meladeni Meyla dan Thalita.

"Eh, anterin gue ke toilet, yuk!" Ajak Thalita pada Meyla

"Ayo. Dis, lo mau ikut?"

"Nggak ah,"

Meyla mengangguk, lalu bangkit dari tempat duduknya dan pergi menuju toilet bersama dengan Thalita.

Sesampainya di toilet, Thalita lalu menitipkan ponselnya kepada Meyla dan segera bergegas masuk ke dalam. Alhasil, Meyla menunggu Thalita sendirian di luar.

Beberapa saat, mata Meyla tak sengaja menangkap sosok Revan yang tengah berjalan menuju kantin bersama dengan teman-temannya. Cowok itu tampak sedang tertawa dengan yang lain, memamerkan senyum khasnya yang membuat Meyla tanpa sadar ikut tersenyum.

Andai Revan tahu, dengan melihat cowok itu tersenyum saja sudah membuat Meyla bahagia. Entah mengapa, yang pasti, Meyla tidak dapat menjelaskannya.

"Yok!" Thalita muncul dari arah belakang, lalu meminta ponselnya dari Meyla.

"Kenapa, sih?" Tanya Thalita.

"Revan,"

"Mana?"

"Noh!" Meyla menunjuk keberadaan Revan pada Thalita. Sedangkan gadis itu hanya manggut-manggut saja.

***

Siang itu, guru mata pelajaran yang seharusnya mengajar di kelas Meyla tampak tidak hadir di kelas. Akibatnya, kelas menjadi ramai dan sedikit tidak terkendali.

Meyla duduk bersama dengan Thalita. Menatap bosan kearah teman-temannya yang lain yang sedang berdiskusi mengenai lomba mading antar kelas benerapa hari lagi.

Meyla dan Thalita yang tidak tahu harus berbuat apa jika bergabung dengan yang lain, memilih menyingkir dari kerumunan tersebut. Toh, pada nyatanya banyak juga yang tidak ikut bergabung. Hanya beberapa anak saja.

"Guys, dengerin gue!"

Meyla dan Thalita menatap kearah depan. Disana berdiri ketua kelas mereka yang sepertinya akan memberi arahan mengenai suatu hal.

"Gue mohon kerjasamanya. Gue bakal bagi tugas mading buat kalian,"

Ketua kelas mulai menjelaskan secara rinci mengenai tugas-tugas setiap anggota kelas. Meyla sesekali menguap mendengarnya. Siang hari adalah waktunya untuk tidur. Jadi wajar saja jika dirinya sudah mengantuk.

"Kalo ada yang nggak setuju bilang!" Ucap ketua kelas

"Besok kita mulai ngerjain madingnya. Gue harap kalian semua bisa ikut bantu kelas kita," lanjutnya.

Meyla berlalu menatap Thalita. Dilihatnya Thalita yang sudah fokus pada ponselnya setelah selesai mendengarkan penjelasan ketua kelas.

"Wah, males banget gue kalo ada acara kayak gini. Nggak bisa pulang cepet," keluh Meyla.

"Lo mah enak, rumah lo deket, lah gue?"

"Rumah gue jauh, tahu! 20 km dari sekolah," ucap Meyla dengan nada bercandanya.

"Iyain dah,"

Meyla terkekeh mendengar wajah pasrah dari Thalita. Ia sangat suka jika membuat teman-temannya kesal karena ulahnya yang seperti ini. Sangat menyenangkan.

"Oh iya. Waktu itu lo belum selesai cerita tentang Revan," ucap Thalita.

"Yang mana?"

"Yang alasan lo suka sama Revan," ucap Thalita

"Lah, kan udah selesai gue ceritanya," ucap Meyla.

"Masak, sih?" Ucap Thalita yang jadi bingung sendiri.

"Iye, dasar pikun lo!"

"Ck. Yaudah, ceritain kisah lo sama Revan dong. Orang kemarin kan gue udah cerita tentang Vian. Sekarang giliran lo," ucap Thalita.

"Di taman aja. Kalo disini banyak yang denger," ajak Meyla

"Yaudah, ayo!"

Sesampainya di taman, keduanya duduk bersila, berhadapan di salah satu bangku panjang. Dibawah pohon yang sebenarnya Meyla sendiri sedikit khawatir apabila tiba-tiba saja ada ulat yang jatuh dikepalanya.

"Jadi gimana?" Tanya Thalita.

"Sebenarnya sih, nggak ada yang menarik banget. Nggak semenarik kisah lo sama Vian. Tapi, kalo lo tanya kenapa gue bisa suka sama Revan, jawabannya adalah karena ada banyak hal yang Revan lakuin yang tanpa sengaja bikin gue suka sama dia," ucap Meyla.

"Ada banyak hal yang tanpa gue sadari, gue udah jatuh ke dia. Hal-hal kecil yang sebelumnya gue nggak nyangka bakal jadi alasan kenapa gue suka sama dia,"

"Dan hal-hal kecil itu yang bikin gue susah lupa sama dia,"

DISAPPOINTED [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang