"Rasanya sakit, ketika orang yang kamu suka tersenyum untuk orang lain, padahal kamu juga pantas untuk mendapat senyum itu,"
***
Meyla tersenyum miris melihat interaksi dua insan didepannya ini. Vina dan Revan, yang berbincang sambil saling melempar senyum. Rasanya sakit sekali, disaat orang yang kamu suka lebih bisa tersenyum kepada orang lain dibandingkan dengan dirimu sendiri.
Meyla menghela nafas. Kemudian melirik setumpuk buku tugas bahasa Indonesia ditangannya. Bu Shita pasti sudah menunggu. Atau lebih baik dirinya pergi saja?
"Vin, gue udah ditunggu bu Shita nih. Lo jadi ikut nggak?"
Ucapan Meyla tadi sontak membuat keduanya memandang Meyla. Revan bahkan sempat berpikir bahwa ia lupa ada Meyla juga disana.
"Eh, iya. Van, gue duluan. Mau nemenin Meyla keruang guru,"
"Iya. Perlu gue bantu, Mey? Kayaknya berat banget,"
Demi apa, Meyla serasa ingin melayang sampai langit ketujuh. Tumben sekali Revan berkata seperti itu. Oh, Meyla sangat bahagia. Sampai ia tidak bisa lagi menahan senyumnya.
"Eh, nggak usah, Van. Gue bisa sendiri. Y-ya udah, yuk, Vin,"
"Duluan, Van,"
Revan mengacungkan jempolnya kearah Vina dan Meyla. Senyumnya mengembang, namun tak lama. Ia melanjutkan perjalanan menuju kelas yang sempat tertunda ketika bertemu Vina dan Meyla.
***
"Mey, lo beneran suka, ya sama Revan?"
Meyla diam. Bahkan dia belum mengerti pasti perasaannya pada Revan. Ia takut salah mengartikan perasaannya. Karena bisa saja perasaan yang dimilikinya bukan rasa suka, melainkan hanya baper semata.
"Kalo suka, jangan nyerah. Lo harus berjuang buat dapetin dia," ucap Vina disela-sela perjalanan mereka dari kantor.
"Mey? Gimana?"
"Gimana apanya?"
Vina menghela nafas,"Lo suka sama Revan?"
"Nggak tahu, Vin,"
"Kok nggak tahu?" Vina mengerutkan keningnya.
"Lah, perasaan lo gimana?"
"Nggak tahu, yang pasti gue ingin selalu menjadi yang terbaik buat Revan. Gue pengen dia lihat kearah gue. Gue pengen deket sama dia. Kalo dia senyum, itu bikin gue bahagia,"
"Itu lo suka sama dia,"
Meyla terdiam. Apa yang disimpulkan Vina itu benar adanya? Bahkan Erin dan Sisil berpikir Demikian. Apa benar dirinya suka dengan Revan?
"Apa iya, Vin?"
"Lo sendiri biasanya paling ngerti masalah kayak gini. Masa pahamin perasaan lo sendiri aja lo masih bingung?" Ucap Vina.
"Terus gue harus gimana?"
"Kalo lo suka, lo perjuangin dia,"
"Meskipun dia suka sama orang lain?" Tanya Meyla dengan tulus, tanpa ia pikir terlebih dahulu. Hatinya terlalu ingin mengatakan hal ini pada Vina. Dan mulutnya seakan tidak mau menahannya lebih dulu.
"Maksud lo?"
"Kalau dia suka sama orang lain? Apa gue juga harus berjuang? Meskipun gue tahu gue nggak bakal bisa ngambil hatinya?"
Vina menelan ludahnya susah payah. Apa Meyla sedang curiga padanya? Akhir-akhir ini dirinya memang sedangdekat dengan Revan. Tapi sesuai hati Vina, dirinya tidak ada rasa dengan Revan. Begitupun Revan, mereka hanya teman lama bukan?
"Revan kayaknya lagi nggak suka sama siapa-siapa deh,"
"Gitu, ya?"
Vina mengangguk mantap. Ia harus bisa meyakinkan Meyla bahwa dirinya menyukai Revan. Begitupun Revan juga akan menyukai Meyla apabila Meyla ingim berjuang.
***
Lagi-lagi Meyla hanya bisa tersenyum tipis. Melihat Erin dan Sisil yang sibuk dengan kegiatannya mempersiapkan penilaian untuk ekstrakulikuler tari yang diikuti keduanya.
"Gue tegang nih, masa baru masuk disuruh penilaian gerakan dasar. Gue takut salah," ucap Sisil
"Iya, gue juga. Padahal gue helum luwes banget narinya," sambung Erin.
Vina, ya, hanya dia. Setidaknya hanya bersama Vina, Meyla tidak merasa terasingkan seperti ini. Erin dan Sisil telah berubah semenjak mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Tidak, Meyla tidak pernah ingin membatasi siapapun. Hanya saja ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa kedua temannya kini telah pergi semakin jauh dari dirinya.
Meyla mulai jengah. Dilihatnya arah kelas Revan berada. Mungkin dengan melihat Revan, dirinya lebih baik. Percaya atau tidak, senyum Revan mampu membuat Meyla sedikit melupakan kesedihannya.
Revan sangat manis ketika tersenyum. Namun sangat dingin ketika tanpa ekspresi. Namun hal itulah yang membuat Meyla penasaran. Ya, mungkin yang dikatakan Vina memang benar. Dirinya memang menyukai Revan.
"Lo berhasil buat gue suka sama lo, Van!"gumam Meyla.
"Sesuai yang gue bilang, Mey,"
Meyla menoleh dan mendapati Vina yang sudah berdiri disampingnya. Ia mengedarkn pandangannya. Malah Erin dan Sisil sudah menghilang. Kemana mereka?
"Ngagetin aja, lo!"
"Hahahaha...makanya jangan ngelamunin Revan,"
"Bisa aja lo,"
Vina tertawa renyah, "Jadi gimana? Udah yakin sama perasaan lo?"
"Seperti yang lo bilang. Kayaknya gue memang suka sama Revan,"
"Udah gue duga,"
Meyla tersenyum. Senyumannya sangat tulus memandang Revan yang tengah tertawa bersama temannya. Tawa itu adalah tawa yang jarang Meyla lihat. Tawa yang bisa saja merubah opini orang bahwa Revan adalah orang yang sangat dingin.
"Tapi gue takut," ucap Meyla
"Takut kenapa?"
"Gue takut sakit hati,"
"Sakit hati sama Revan kalo dia suka sama orang lain? Takut kalau dia nggak bisa bales perasaan lo?"
Meyla membenarkan dalam hati. Kemudian mengangguk tanda ia memang benar merasakannya.
"Yang namanya jatuh cinta, lo juga harus siap patah hati. Patah hati itu biasa. Makanya lo harus semangat biar Revan juga lihat lo. Gue yakin, nggak ada yang nggak mungkin didunia ini. Termasuk Revan yang akan suka sama lo kalo lo mau berusaha lebih keras," ucap Vina
***
Vote dan komentarnyaa
KAMU SEDANG MEMBACA
DISAPPOINTED [Completed]
Teen Fiction"Akan aku ceritakan bagaimana rasa sakit ini dimulai," Cover illustration from Pinterest